Minggu, 29 Desember 2019

# cerpen

KARNA AKU TELAH DENGANMU

Kafein dengan rasa pahit bercampur dengan krim yang gurih dan sedikit gula. Perpaduan rasa dengan kenikmatan tertinggi itu mampu menaikkan level semangatku seketika.
Tapi itu hanya terjadi didalam balon udara yang melayang diatas kepala yang seketika meletus ketika seseorang menepuk pundakmu.
Karena hanya berlangsung didalam angan-angan saja maka sudah selayaknya aku segera kembali menapakkan kaki di bumi.
Cangkir bermulut besar itu memang menampakkan isi yang sangat menggugah selera. Apalagi cuaca malam ini yang cukup dingin setelah hujan yang mengguyur beberapa waktu lalu.
Hanya  bagi sebagian orang saja. Karena aku hanya lah segelintir orang yang tidak pernah menyukai minuman coklat, baik hangat maupun dingin. Hanya ketika berbentuk kue aku bisa menikmati coklat. Selain dari itu aku lebih memilih berpuasa.
Sayangnya tak banyak orang yang bersedia mengakui seleraku yang sedikit menyimpang ini. Bahkan orang terdekatku sekalipun. Mereka selalu merasa menjadi orang paling mengenalku yang selalu memesankanku minuman tanpa bertanya terlebih dahulu.
Salah satu dari mereka, yang mengaku memiliki hubungan dekat denganku, duduk dihadapanku saat ini. Sedang sedang mendongengkan sebuah filosofi coklat dan segala manfaatnya.
Banyak bicara? Bukan. Selalu ingin didengar? Semua orang juga menginginkannya. Dominan? Mungkin kata itu cukup tepat untuk menggambarkan karakternya. Dendra selalu menjadi pengendali hampir disetiap pertemuan kami. Dia selalu memiliki control hampir disegala hal. Pilihan topik pembicaraan, tempat yang akan kami tuju bahkan pilihan menu yang akan kami santap.
Pixabay

“Selain bisa diminum hangat atau dingin, coklat juga bagus untuk menstabilkan suasana hati.”
Ya, aku sudah mendengar puluhan kali Dendra mengucapkan teori itu. Bahkan mungkin disetiap kami membeli makanan atau minuman coklat. Meski aku sebenarnya tidak pernah benar-benar bisa menikmatinya.
“Indica bahkan selalu membawa coklat didalam tasnya. Katanya untuk penawar jika kerjaannya tidak berjalan sesuai rencana.”
Ini jugalah yang membuatku semakin membenci semua hal yang berhubungan dengan coklat. Dendra selalu mengaitkannya dengan Indica. Seolah-olah Indika yang memjadi pencetus keberadaan coklat dimuka bumi ini sehingga setiap menyebut coklat harus disertai dengan namanya.
“Mbak!” Aku memanggil seorang pelayan. “Espresso double shot ya”
“Ran, minuman kamu kan belum habis?”
“Terlalu manis, Ndra. Bisa diabetes aku kalau kebanyakan gula.” Jawabku sekenanya.
“Tapi kan bisa pesan yang lain. Ini udah malam, lho. Nggak bisa tidur kamu nanti.”
“Aku memang rencana mau begadang. Aku belum bikin daftar tamu undangan. Besok kan udah harus dicetak.”
Dendra mendesah. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan. “Aku bantu ya? nggak usah protes!”
Aku baru saja hendak menolak tapi Dendra selalu pandai memaksa tanpa membuat orang lain terpaksa.
“Kita memang udah bagi tugas tapi pernikahan ini pernikahan kita. Dan aku nggak mau egois dengan membiarkan kamu begadang sendiri sementara aku bisa enak-enakan tidur.”
Meski selalu mendominasi tapi Dendra juga sangat pengertian. Tidak pernah menunggu diminta terlebih dahulu untuk membantu. Selalu memiliki inisiatif hampir disetiap hal.
Banyak yang mengatakan bahwa laki-laki itu tidak peka terhadap sikap perempuan. Teori itu dipatahkan oleh Dendra. Buktinya aku yang sangat pendiam yang harus ditanya agar berbicara pun bisa menjalin hubungan lebih dari satu tahun tanpa merasa kecewa karena ketidakmampuan laki-laki mengenali pasangannya. Bahkan ketidakmampuan itu justru ada ditanganku karena aku tidak pernah bisa  mengetahui keinginan Dendra tanpa diberi tahu.
Suasana kafe malam ini benar-benar menyenangkan. Cahaya temaram lampu menambah kehangatan. Dan Dendra kembali menunjukkan dominansinya sebagai seorang pria. Menyusun daftar tamu undangan sepenuhnya diserahkan padaku. tapi lihat bagaimana dia mengingatkanku pada teman-teman dekatku saat kuliah yang sudah jarang sekali kutemui.
“Bukan berarti karena kamu jarang bertemu lantas tidak diundang. Mereka kan pernah menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidup kamu.”
Lihat? Rasanya aku tidak memiliki alasan untuk tidak memilihnya menjadi calon suamiku. Dendra sangat mengenalku dan membuatku selalu terlihat baik dihadapan semua orang.
Kemampuanku bersosialisasi dengan manusia mungkin mendapat nilai minus. Tapi berkat Dendra aku mendapat nilai positif. Dimata orang aku menjadi sosok yang tidak melupakan masa lalu. Yang selalu mengingat orang-orang yang hadir dalam hidupku.
Jarum jam hampir menunjuk angka 10 malam. tidak terasa sudah lebih dari dua jam kami menghabiskan waktu di kafe ini. beberapa pramusaji sudah mulai bersiap untuk menutup restoran. Bahkan hanya tinggal beberapa meja saja yang masih terisi oleh pengunjung.
“Lama juga ya bikin daftar undangan aja.”
“Untung kita kerjain bareng. Kalau aku sendiri mungkin sampai besok belum selesai.” Aku menutup laptop dan memasukkannya kedalam tas. “Tinggal nyatuin sama daftar tamu orang tua kita.”
“Aku jadi ingat pesan Indica. Katanya ada banyak printilan pernikahan yang kelihatan sepele tapi sangat menyita waktu. Mungkin ini kali ya maksudnya.”
Aku sempat berhenti sejenak untuk mengambil cangkir berisi minuman coklat yang sudah dingin. Nama itu sekejap membuatku kehilangan selera untuk menghabiskan minuman manis itu. Dan memilih espreso yang tidak benar-benar ingin ku minum. Hanya dalam sekali teguk minuman hitam pekat itu langsung berpindah kedalam lambungku.
Aku tahu. Itu adalah kesalahan dalam menikmati sari pati kopi. Aku mungkin bisa tersedak karena rasa pahit yang tidak biasa dengan indera perasaku. Bahkan mungkin lambungku akan berteriak protes terkena hantaman asam yang cukup kuat.
Meski begitu Dendra tidak berusaha mencegah atau mengingatkan. Dia hanya menatapku dengan sorot mata heran mungkin juga takjub karena melakukan hal yang tidak seharusnya.
 “Dia hebat banget ya? tahu segala macam jenis minuman bahkan kelihatannya punya banyak sekali pengalaman tentang persiapan pernikahan. Siapa tadi namanya?”
“Ran …”
“India? Ahh Indica. Mungkin sesekali aku harus bertemu dengannya. Bisa kamu bantu aku?”
“Ran … “
Kuabaikan Dendra. Aku mengambil ponsel Dendra yang tergeletak diatas meja. Kubuka kontak dan mencari nama wanita yang mendengarnya saja aku tidak mau.
“Aku harus belajar banyak darinya biar aku jadi wanita yang pantas buat kamu.”
“Ranti!!!”
Dendra merebut ponsel ditanganku.
Aku tahu. aku sudah kalah banyak disini. tapi aku tidak ingin menyerah lalu melangkah ke belakang. Dendra terlalu banyak mengambil peran dalam hidupku.
“Aku harus menjadi wanita yang pantas untuk menjadi istri kamu.”
Emosi dalam diriku terllau tinggi. Aku tidak bisa menghalaunya. Sehingga membuat bibirku bergerak tanpa bisa kukendalikan. Maka hanya racauan yang bisa kuucapkan.
“Aku harus menjadi wanita yang pantas”
“Aku harus menjadi wanita yang pantas”
“Aku harus menjadi wanita yang pantas”
Ketika emosi benar-benar menguasaiku, seluruh indra yang kumiliki akan kehilangan kemampuannya. Aku tidak bisa memahami apa yang orang ucapkan. Aku hanya terus mengulang kalimat-kalimat yang hanya bisa menunjukkan betapa buruknya seorang Meranti.
pixabay

“Ranti.” Dendra menarik lembut tanganku lalu menggenggamnya. “Kamu sudah sangat pantas untuk jadi istriku.”
Sentuhan hangat itu membuatku perlahan mengangkat kepala. Memaksa kelopak mata terbuka lebar. Meski bola mataku sedang ditenggelamkan oleh cairan bening yang entah bagaimana tidak tumpah.
“Lalu kenapa kamu selalu menyebut namanya dihadapanku?”
“Ran, itu cuma reflek. Seperti kebiasaan aja. kamu tahu aku pernah bersamanya dalam waktu yang cukup lama.”
“Jadi gitu.”
Nyalang dimataku sirna sudah. Emosi yang sudah berada dipuncak menguap begitu saja.
“Karena kebiasaan.” Ucapku lirih.
Kepalaku kembali tertunduk. Aku segera bangkit dari duduk. Meski
“Ranti, bukan itu maksudku.”
“Aku mau pulang.”
Aku kehilangan seluruh kekuatan dalam tubuhku. Untuk berjalan sampai pada mobil Dendra pun aku harus menyeret kedua kakiku.
Ketika Dendra membukan pintu mobil, aku langsung melempar diriku kedalam. Menyandarkan kepala setelah memakai sabuk pengaman.
Gerimis kembali turun. Membasahi kaca jendela.
Keheningan malam semakin terasa karena jalanan mulai sepi dari kendaraan yang melintasinya.
Sepanjang perjalanan pun hanya ada suara penyiar radio yang mengisi celah-celah keheningan.

Dendra tahu aku sedang marah. Itu juga yang membuatnya tidak mengajakku berbicara sedikit pun. Dia seperti sedang membiarkanku masuk kedalam ruang yang hanya ada aku dan emosiku didalamnya.

Badanku terlalu lelah untuk berpikir kejadian yang bukan pertama kali terjadi itu. Aku memilih untuk menutup mata dan membiarkan suara penyiar radio yang menemani Dendra.



Note
Terinspirasi dari lagu yang berjudul Karna Aku Tlah Denganmu yang dinyanyikan oleh Ari Lasso berduat dengan Ariel Tatum

6 komentar:

Follow Us @soratemplates