Rabu, 26 Juni 2019

# cinta # Fiction

Remind Me_tigabelas


Perjalanan pengganti bulan madu yang terlewat itu kembali menuai kegagalan. Ray harus segera kembali untuk bersiap menggantikan posisi temannya yang berhalangan.
Sesal tentu saja sedang menyelimuti hatinya. Meski Lila tak merasa keberatan tapi melihat senyum yang selalu tersungging membuatnya di dera rasa bersalah.
Sejak keluar hotel sampai sekarang berada dalam perjalanan pulang, tak sekalipun Ray melihat wajah Lila murung. Dia satu-satunya orang yang bahagia saat semua tidak berjalan lancar. Bahkan saat Ray mencoba menggali kejujurannya.
“Kemanapun sesingkat apapun aku akan senang selama bersama kamu, Mas.”
Bukannya melegakan, hal justru membuat Ray semakin merasa bersalah.
Memang perasaannnya pada Lila belum sebesar Lila padanya. Tetapi hal itu tidak membuatnya dengan mudah mengabaikan Lila. Bagaimana pun Lila adalah istrinya. kebahagiannya sangat bergantung dengan sikapnya sebagai seorang suami.
“Lagi pula kita bisa pergi lagi lain kali.”
Lila selalu membuat Ray merasa tenang. Disaat perasaan bersalahnya yang semakin membumbung tinggi, dengan sekali ucap membuatnya mengempis. Memaksa seutas senyum hadir di bibir Ray.
Selama ini hatinya tertutup dengan harapan yang terlalu jauh sehingga membuatnya kesulitan melihat ketulusan yang ada didepan matanya.
How about dinner? Makan malam pertama kita waktu itu tidak berakhir indah.”
“Oke.”
Wanita tidak melulu berpusat dengan permainan kode yang susah di terjemahkan. Sesuatu yang biasa selalu bisa menghangatkan hatinya bila dilakukan dengan ketulusan.
Ditengah perjalanan mereka berhenti di pinggir jalan. Lila melihat seorang pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di bawah pohon besar.
“Es dawet nya dua ya mang.”
Ray memesan minuman yang sangat menyegarkan di cuaca yang terik seperti ini.
“Bandung jam berapapun selalu ramai. Makanya aku jarang banget kesini.” Ujar Ray yang berdiri menghadap Lila yang menyandar pada badan mobil.
“Tapi Bandung selalu indah dalam ingatan.”
Kali ini Ray setuju dengan pendapat Lila. Meski pernah menorehkan hal buruk dalam hubungan mereka, Bandung selalu menyimpan kenangan indah tentang perjalan hidup mereka.
“Kamu ingat itu?” Ray menunjuk halaman sebuah sekolah taman kanak-kanak yang terletak di seberang jalan.
“Apa? Sekolah?”
“Plang besi yang biasa dibuat anak-anak bergelantungan.”
“Kenapa emang?”
“Kamu dulu juga pernah gelantungan disana. Waktu itu mau hujan dan angin lagi kenceng banget. Sementara kamu gelantungan tapi sibuk nahan rok kamu yang ketiup angin.”
“Akhirnya aku jatuh.”
“Terus kaki kamu kesleo dan aku harus gendong kamu sampe rumah.”
Tentu saja Lila mengingatnya. Nggak akan pernah lupa bagaimana Ray kecil yang selalu perhatian dan menghujaninya dengan kasih sayang. Bahkan Lila masih bisa mengenang betapa hangat dan kokohnya punggung Ray saat menggendongnya.
“Akhir-akhir ini aku jarang lihat kamu pakai rok?”
Lila tersenyum. Kakinya bergerak-gerak mengukir lantai tanah yang basah. “Ada beberapa saat aku harus melupakan rok dan menggantinya dengan pakaian yang tidak membatasi gerak. Terutama saat aku harus men-direc pemain teater untuk pementasan.”
“Kamu jadi director juga?” tanya Ray antusias.
“Cuma sesekali aja, klo director utama berhalangan hadir.”
“Kamu berubah banyak, Lil. Banyak hal yang udah kamu lakukan dan itu benar-benar melampau kemampuan kamuj”
So you do
Angin yang berhembus siang itu menyejukkan hati masing-masing. Meleburkan kenangan masa lalu yang sempat tersekat-sekat menjadi sebuah rangkainan cerita yang utuh. Menyisakan memori indah yang tak akan lekang dalam ingatan mereka.

***
Lila baru saja menuangkan air minum setelah beberapa saat lalu pulang dari galeri. Bersamaan dengan tandasnya air yang ditegukkannya, bel rumahnya berbunyi.
Rupanya seorang petugas dari salah satu layanan online mengirimkan paket untuknya. Sebuah kotak berwarna coklat diikat pita berwarna hitam. Dengan sebuah kartu ucapan terselit diantaranya.
Temui aku jam 8 malam
Dibawahnya tertera alamat sebuah restoran. Restoran tempat mereka pertama kali bertemu. Restoran yang menjadi saksi bahwa pertemuan itu akan terulang.
Lila membawa kiriman itu dan membukanya didalam kamar. Sebuah dress tanpa lengan berwarna biru tua.
Biru bukanlah warna kesukaannya. Dia seperti wanita pada umumnya yang menyukai warna-warna terang seperti putih dan merah jambu. Sementar biru adalah salah satu warna yang mendominasi pakaian Ray.
Warna kesukaan Ray.
Lila pun mematut pakaian yang panjangnya menutupi lututnya di hadapan sebuah cermin besar dikamar. Warna itu sangat cantik dipadukan dengan kulit putih miliknya.
Rambut panjangnya nanti akan di gelung keatas. Dengan sebuah jepit rambut berbentuk bunga akan tersemat manis diatas kepalanya. Lila juga membiarkan sedikit rambut jatuh menghiasi wajahnya.
Lila memilih sebuah pemulas bibir berwarna merah. Semula ia hanya ingin mengekspresikan betapa senang hatinya. Namun setelah melihat pantulan wajahnya dari cermin membuatnya terlihat berani. Sehingga ia menghapus pewarna itu dan menggantinya dengan warna peace yang memberinya kesan simple tapi juga elegan.
Dress biru itu Lila padankan dengan sepatu berhak rendah warna hitam dengan sebuah handbag yang senada.
Lila memandang dirinya sekali lagi. lalu tersenyum bahagia.
“Cantik.” Gumamnya.
Sebelum turun, Lila menutup gorden kamarnya yang sedari tadi terbuka. saat itu terlihat awan gelap sedang tarik menarik untuk berkumpul.
“Hujan nggak ya?”
Setelah menimbang-nimbang, Lila memutuskan untuk menggunakan sebuah outer panjang yang akan menutup gaunnya. Sebuah coat tebal berwarna cokat yang panjangnya dibawah lutut.
Agak sedikit aneh untuk daerah tropis menggunakan mantel tebal. Tetapi Lila kadang membutuhkannya terutama di musim hujan untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Meskipun terbiasa dengan iklim panas dan lembab, koleksi jaket dan mantel milik Lila cukup banyak.

***
Espresso double shot and hot cappuccino untuk meja Sembilan”
Bimo memberikan pesanan pada salah satu karyawannya untuk disajikan pada pelanggan.
Karena hari kerja dan juga akhir bulan coffee shop miliknya relative sepi meskipun sedang turun hujan. Cuaca memang sangat mendukung untuk seseorang menikmati secangkir minumana hangat di tengah cuaca yang dingin. Tetapi semua itu tidak akan terjadi makakala kantong sedang tidak bersahabat.
“Berapa lama Lo tinggal di Indonesia?” Bimo membuka percakapan kembali setelah kesibukannya merangkap menjadi seorang barista menginterupsi.
“Besok. Gue ambil flight sore.”
“Terus Mira sekarang sama siapa?”
Sam memutar-mutar cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ada asisten gue yang jagain.”
“Lo nggak bisa cari cara lain selain Ray? Dia udah bahagia sama pernikahannya.”
“Gue tahu,” Sam menengadah. “Gue nggak mungkin ngancurin rumah tangga sohib gue sendiri. Tapi ini Almira. Lo tahu gimana wataknya. Nggak ada yang bisa ngimbangin kerasa kepala selain Ray.”
“Ya coba bujuk lagi pelan-pelan. Atau kalo perlu Lo paksa aja dia.”
“Kalopun Mira mau terapi tapi kalo kepalanya nolak, nggak ada gunanya juga. Dan klo kondisi ini terus dibiarain Mira bisa…”
“Bisa apa?”
Suara Ray menyahut. Membuat kedua orang yang sedang serius berbicara itu tidak menyadari kehadirannya.
“Ray, Lo kenapa disini? Bini Lo?”
Pertanyaan Bimo diabaikan begitu saja. Ray memilih menarik kursi disamping Sam dan duduk menunggu jawaban.
“Bisa apa?”
Sam mendesah, “Mira kondisi buruk, Ray.”
Bimo mau tidak mau kecewa dengan Sam karena menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Ray. Bukan tidak peduli dengan Almira hanya saja tidak perlu melibatkan Ray yang saat ini sudah memiliki kehidupan sendiri.
“Dia menolak semua saran pengobatan dokter.”
“Dia dirawat dimana? Di rumah sakit mana?”
“Ray, Lo udah punya bini. Biar kita-kita aja yang mikirin Mira.” Ucap Bimo.
“Dia nggak mau dirawat.”
Ray melengos. Dia tahu betul bagaimana keadaan Almira saat ini. dan dia tidak akan diam saja dan menunggu kabar.
“Gue…”
“Lo nggak perlu kuatir. Gue nggak bakal biarin Almira sakit tanpa pengobatan.”
“Tapi…”
Sam berdiri lalu menepuk bahu Ray.
“Percaya sama gue. gue cabut.”

***
Hujan deras turun beberapa saat lalu mulai menguranginya lajunya mencapai bumi. Dengan intensitas yang lebih pelan, gerimis itu masih membasahi jalanan yang mulai sepi dilalui kendaraan.
Bimo juga sudah mematikan sebagian besar lampu café. Menyisakan beberapa yang sengaja dibiarkan menyala untuk memberi penerangan bagi karyawannya yang bersiap pulang.
Bimo menyuguhkan segelas air putih besar kepada pelanggan setianya yang sedang mengalami masalah hati kronis.
“Gue udah tutup jadi Cuma ada air putih aja. Buat Lo gue kasih gratis sampe mabok”
Bimo mencoba mencairkan suasana yang sedari tadi muram dengan candaannya yang hanya ditanggapi dengan senyuman hambar Ray.
“Gue harus gimana, Bim?”
“Kenapa musti tanya?”
Ray mendongak. Tidak mengerti dengan ucapan Bimo.
“Lo balik, temui istri Lo. Lo peluk dia. Minta maaf. Klo perlu Lo sujud dikakinya karena Lo udah dengan terang-terangan bikin dia kecewa, sakit hati karena cewek lain.”

***
Ray memutar kembali mobilnya. Berjalan menjauhi café Bimo yang semakin lama semakin mengecil lalu menghilang saat Ray berbelok di persimpangan jalan.
Jalanan utama ini sudah sangat lengang. Taksi-taksi yang banyak berhenti di tepi jalan pun sudah tidak ada. Bahkan restoran tempat yang harus Ray datangi dua jam yang lalu pun sudah tutup.
Ia masih berusaha mencari keberadaan Lila. Perasaannya mengatakan istrinya itu masih menunggu keberadaannya. Namun Ray tidak menemukan Lila di penjuru restoran.
Ray pun pergi. mencoba mencari kemungkinan lain. mungkinkah Lila pergi ke galeri? Tidak mungkin. Tempat kesenian itu sudah ditutup sejak tadi. maka Ray memutuskan untuk pulang sambil mencoba menghubungi Lila melalui sambungan telepon. Meski usahanya itu tidak membuahkan hasil juga. Ponsel Lila mati sehingga ttidak ada cara lain selain menunggunya di rumah.
Malang, Lila juga tidak ada dirumah. Pintu rumah masih terkunci rapat. Jam sudah menunjukkan 10 malam lebih.
Ray benar-benar dihinggapi rasa khawatir, kemana gerangan istrinya itu pergi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates