Rabu, 26 Juni 2019

# Fiction # Fiksi

Remind Me_duabelas


Ruangan ini terlalu gelap kalau hanya bergantung pada penerangan yang diberikan Tuhan melalui sinar matahari. Meski sebagian besar dinding terbuat dari kaca tapi tetap saja sebagian besar dari puluhan lampu itu harus di nyalakan.
Lila duduk di sebuah sofa melingkar yang sangat besar. bantalan spons yang sangat empuk itu hampir saja menenggelamkannya saat duduk menyandar. Untung saja pelajaran tata karma ala kerajaan jawa yang pernah kakek berikan sudah mendarah daging. Sehingga ia hanya perlu duduk dengan punggung tegak serta kedua kaki yang di lipat rapat. Melelahkan tapi lebih baik dari pada meringsak di dalam kursi modern seperti ini.
Selain sebuah restoran yang buka selama 24 jam, juga ada seuah ruangan di seberangnya. Privat bar, begitu yang tertulis di atas pintunya. Yang biasa digunakan orang-orang untuk melaksanakan privat party yang mengusung adat barat. Begitu informasi yang ia dapatkan dari kisah romansa yang pernah ia baca.
Beberapa menit lalu, Ray memintanya untuk menunggu. Mata Lila pun menangkap seorang pramusaji yang sibuk di balik meja bar. Kemudian menghampirinya untuk menyajikan welcome drink sebagai sebuah protokoler hotel tempatnya bekerja.
Chamomile tea menguarkan aromanya yang menenangkan. Sejenak Lila pun teringat perbincangannya dengan Ray selama masih dalam perjalanan.
“Aku nggak tahu bandung tetap serame ini meski awal pekan. Bahkan hotel yang sama seperti di voucher pun penuh. Tapi aku sudah booking di hotel lain, semoga kamu suka.”
Akhir dari kalimat Ray itu benar-benar menengkan hatinya. Meski hanya sebuah perjalanan pengganti tapi Lila merasa sangat tersanjung. Lelaki yang selalu ia tatap itu membalas senyumnya, menjawab pertanyaan juga memakan masakannya.
Tak banyak permintaan yang Lila ajukan pada Tuhan semenjak ia mengikhlaskan jalan hidupnya. Kalau pun perpisahan menjadi jalan hidupnya, jangan hapus senyum di wajahnya.
Dan Tuhan memberinya jauh lebih banyak dari permohonannya.
Saat ini sebuah tangan terulur di hadapannya. Menggantung di udara, meminta untuk segera di sambut.
Lila pun menggerakkan jemarinya. Meski debaran jantung nyaris membuat tangannya bergetar. Akhirnya sentuhan itu tercapai. Telapak tangan Ray meraup jemari lentik Lila.
Terimakasih Tuhan. Kau telah meniupkan kehangatan dalam kesunyian hatiku.
Untung kita datang awal. Jadi masih bisa milih kamar.”
Mereka berjalan dengan tautan tangan yang erat. Ray bahkan hanya perlu sebelah tangan saja untuk membawa barang bawaan mereka dan membuka lift.
“Memangnya kita dapat kamar berapa?”
“1007”
Lila memandang pantulan bayangannya dari dinding lift. Mengingatkannya pada lima bulan sebelumnya, dihari resepsi pernikahan. Satu-satunya hari saat Ray berdiri disampingnya tanpa terlihat tidak nyaman. Meski Lila tahu hal itu sangat berbeda dengan hatinya. Dan hari ini Lila kembali berdiri berdampingan dengan kenyamanan yang nyata.
Ia ingin sekali meletakkan kepalanya di bahu Ray seperti adegan romantic yang sering ia baca di novel-novel picisan. Denting lift tanda pintu terbuka lebih cepat sehingga Lila harus cukup menerima genggaman tanga yang erat seperti ini saja.
Keinginan berlebih tak akan membuat kenyataan berubah. Hanya ada hati yang berharap lebih dan mengukir luka dengan jari sendiri.
***
Lila menyibak gorden abu-abu yang panjangnya menyamai tinggi kamar. Dinding kamar yang berada disisi luar tersebut terbuat dari kaca yang sangat lebar. Kalau tidak ada embun yang menempel, mungkin Lila akan mengira Ray memesan kamar yang terbuka.
Tak jauh berbeda dengan Jakarta, Bandung sama ramainya dengan kendaraan yang mengantre di jalanan. Hanya saja lebih banyak di jumpai pohon-pohon di tepi jalan. Juga tidak banyak ditemukan warung tenda penjaja makanan. Trotoarnya pun lebih banyak dilalui pejalan kaki dari pada kendaraan roda dua.
“Meski ramai tapi bandung tetap lebih menenangkan dibanding Jakarta.”
Lila menyetujui pernyataan Ray yang berdiri disampingnya dengan menganggukkan kepala.
“Aku mandi dulu.” Ray menyentuh pundak Lila sebelum meninggalkannya ke kamar mandi.
Seperti kata Ray, Bandung memang menenangkan. Di kota ini pula, Ia pernah mengukir kisah manis yang membuatnya hidup sampai saat ini. Masa saat Ray kecil menghabiskan seluruh waktu liburannya untuk menemaninya berkeliling kota. Saat Lila menyerah pada kelelahan, Ray kecil selalu menghadirkan punggungnya untuk menggendongnya. Untungnya Lila tergolong pemilik badan yang tidak terlalu besar sehingga tak terlalu menyiksa Ray. Tapi bukan Lila kalau tidak menjahili Ray.
“Mas,?”
“Hhmmm…”
“Kalo aku capeknya lama, kamu bakal gendong aku terus nggak?”
“Iya, aku bakal gendong kamu terus.”
“Sampe lama-lama?”
“Iya, Lila. Aku bakal gendong kamu terus sampe lama-lama.”
Mungkin karena keduanya di lahirkan sebagai anak tunggal yang tidak pernah merasakan kedakatan dengan saudara. Ray merasa nyaman selalu diandalkan oleh Lila sebaliknya Lila pun merasa aman dengan keberadaan Ray disampingnya.
Hubungan keluarga pun semakin erat. Tak jarang mereka yang membuat kedua keluarga itu sering melakukan pertemuan untuk silaturahmi. Satu hal yang luput dari perhatian orang dewasa hanya satu bahwa tidak pernah ada hubungan kakak beradik di antara laki-laki dan perempuan.
“Lil..?”
Mendengar namanya di panggil, Lila pun berbalik badan. Memberi jeda pada ingatannya yang memilih berjalan mundur.
“Iya.”
“Mau makan malam di luar atau di hotel aja?”
Lila punya satu lagi kesukaan dari Ray. Yaitu saat tangan laki-laki itu sedang menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Kemudian menyugarnya sehingga membuat rambutnya akan berantakan. Sebagian jatuh menutup dahinya. Kadang saat rambutnya sedang panjang akan menutup sampai pelipis.
Saat yang demikian itu akan membuat urat-urat tangannya nampak. Serta rambut tipisnya akan lebih terlihat jelas lembab usai mandi. Lalu Lila akan mengimajinasikan sedang menyentuh lengan kokoh yang pernah berjanji akan menggendongnya dalam waktu lama.
“Di luar aja. Kayanya dingin-dingin gini enak makan sup Iga.”
“Boleh.”
Lila langsung masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Ray mengambil ponselnya yang bordering.
 ***
Pintu kamar mandi itu terbuka. di sambut kekosongan ruang yang tak berpenghuni.
Dinding kaca itu masih terbuka lebar. Membiarkan sinar jingga menyelinap masuk. Di pantulkan kembali oleh sprei putih yang sama rapinya saat Lila baru saja datang dua jam yang lalu.
Tak banyak yang berubah. Semua barang bawaan masih tersimpan lengkap di dalam lemari. Kecuali meja kecil bundar yang sudah menampung sebuah laptop yang terbuka. Tapi tuan pemiliknya tak nampak.
“Hey, baru selesai mandi?”
Sepertinya Ray baru saja dari luar. Sebelah tangannya masih menggenggam ponsel. Mungkin baru saja menerima panggilan.
“Lil, aku minta maaf sebelumnya.”
Lila mendengar dengan seksama.
“Keberatan kalo makan di luarnya kita batalkan?”
“Tentu tidak. Kita bisa malakukannya lain kali.”
“Syukurlah. Tapi sepertinya kita masih bisa makan sup iga meski di dalam kamar saja.”
Lila memerhatikan Ray yang sedang sibuk dengan buku menu kemudian sebelah tangannya lagi sedang memegang telepon meja. Tak lama kemudian dia sudah berbicara dengan seseorang.
“Aku udah pesankan sup iga untuk makan malam kita. Tunggu saja.”
Kemudian Ray mengambil tas dan melakukan pencarian disana. Entah apa yang di cari tapi sepertinya itu memerlukan waktu untuk mencari.
“Ehm mas,”
“Iya?”
“Boleh aku tahu kenapa mendadak harus dibatalkan?”
“Ya ampun, aku belum bilang ya?” Ray meletakkan sebuah map bening di atas kasur sebelum berjalan mendekati Lila yang masih berdiri di depan kamar mandi. “Jadi gini. Besok atasanku ada pertemuan dengan salah satu NGO. Nah kawan kantor yang harusnya menyiapkan bahannya itu orang tuanya baru saja meninggal. Jadi terpaksa aku harus menggantikannya.”
Mangkuk dan piring  kosong itu sudah tertumpuk dengan  rapi. Tandasnya makanan yang sebelumnya mengisi menandakan bahwa masakannya enak atau dua orang yang sedang kelaparan. Tapi bagi Lila, enak atau pun tidak yang namanya makanan memang harus di habiskan. Selain bersikap sesuai adab juga sebagai salah satu bentuk penghargai pada orang yang sudah membuatnya.
Perut kenyang di tambah suasana sejuk dari pendingin ruangan membuat mata lebih cepat mengantuk. Tapi Lila berusaha mengenyahkan rasa yang akan memebawanya terlelap.
Satu-satunya laki-laki terbaik bagi Lila tengah bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin. Agar kewajibannya sebagai abdi Negara terlaksana dengan baik.
Tak mengapa, Tak ada sesal atau kecewa sedikitpun menghampiri Lila. Justru syukur yang Ia dapat. Karena memiliki kesempatan untuk memandang sisi lain Ray yang tidak pernah ia jumpai selama ini.
Kerutan di kening yang muncul saat menjumoai kesulitan. Kedua mata yang menatap tajam, focus saat sudah menemukan titik cerah dari kesulitan yang baru saja di hadapi. Sangat kontras dengan celana pendek yang di kenakan serta kaos hitam rumahan dengan ekspresi serius seorang pekerja.
Itu merupakan lukisan terindah yang Tuhan berikan pada Lila. Andai bisa Lila ingin waktu ini berhenti di titik ini untuk waktu yang lama. Tak tahu akan kah kesempatan yang sama akan terulang tapi saat ini biarkan Lila menikmati sedikit lama.
Keramaian jalanan yang Nampak dari atas jauh berkurang. Karena waktu aktif manusia mendekati batas. Wajar saja semua orang memutuskan untuk berhenti dari kesibukan. Pun dengan Ray yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya tepat saat jarum jam menunjuk angka 10 malam.
Beralih dari layar laptop, Ray mendapati Lila sudah tertidur. Tidur menyamping dengan sebelah tangannya menjadi alas kepalanya. Dengan udara seperti ini Lila tidur tanpa mengenakan selimut. Dingin kaki Lila saat Ray menyentuhnya.
Lila merapatkan tubuh saat Ray menyelimutinya.
“Makasih udah sabar menunggu. Sedikit lagi, aku harap sampai saat itu tiba kamu masih sabar menungguku.”
Ray memberikan sebuah kecupan di kening Lila. Bukan cinta tapi Ray berharap suatu saat rasa itu akan kembali menyentuh hatinya dengan Lila masih di sampingnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates