Rabu, 26 Juni 2019

# Fiction # Fiksi

Remind Me_Empatbelas



Hujan deras itu tiba-tiba mengguyur. Mengusir langit cerah yang seharian tadi memayungi bumi. Suasana malam semakin syahdu dan romantic bagi mereka yang sedang memadu kasih. Tapi juga menambah gaduh sebuah hati yang sedang gundah.
Sebuah mobil sedan itu sedang melaju menerobos rantai air yang jatuh dari langit. Mengabaikan cipratan air saat roda mobil melewati genangan. Mengikuti permintaan seseorang yang sedang termangu dibangku penumpang.
Bentara Galerie ya, Pak.” Ucap perempuan pertengahan 20 tahun itu. “Agak cepat ya?” tambahnya.
Laki-laki paruh baya itu menyanggupi permintaan salah satu pelanggannya. Service exelent begitu yang biasa dia dengar saat mendapatkan arahan dari atasan jika sebelum bertugas. Ramah saja tidak cukup menjadi modal bersaing dalam industry transportasi umum. Sehingga sebaik mungkin sopir taksi itu akan memenuhi permintaan pelanggan. Bahkan saat hujan deras yang mengurangi jarak pandang seperti saat ini.
Lila sudah sampai setengah jam yang lalu. ia masih berdiri menatap salah satu lukisan yang di pajang di lobi galeri seni. Salah satu mahakaryanya yang ternoda. Representasi rindu juga harapan yang ia kembalikan ditempat semula. Sementara derasnya hujan belum berkurang meski sudah berlangsung dalam hitungan jam.
“Reservasi atas nama Rayyan Subagja.”
Seorang pramusaji lalu mengantar Lila menuju sebuah meja yang diatasnya sudah ditandai. Berada di bagian dalam restoran yang dekat dengan sebuah taman dan dinding kaca besar yang menjadi batas.
“Sudah siap memesan?”
“Sebentar, mbak.”
Lebih dari tiga kali pramusaji mengucapkan pertanyaan yang sama selama hampir dua jam Lila duduk seorang diri di restoran mewah itu. Tegang dan gugup karena bahagia yang ia rasakan saat pertama kali datang sudah berganti menjadi cemas. Hingga berubah kecewa.
Akhirnya hanya segelas lemon tea yang Lila dapatkan dari restoran dengan reputasi terbaik itu. Bahkan menu-menu yang dimasak oleh chef-chef papan atas negeri ini pun hanya Lila nikmati dalam gambar yang ada di buku menu.
I’ts another disaster dari sebuah acara makan malam yang Lila hadiri.
Dan Lila menuju galeri sebagai penutup dari kencannya yang memilih akhir tidak indah. Memandang objek melingkar dalam bentuk dua dimensi yang tak lagi jelas karena bercapur dengan bentuk abstrak dari cat minyak. Lila mengabadikan rindunya dalam sebuah lukisan monokrom. Sebuah objek tunggal. Sepasang cincin.
“Mbak nggak tahu kalau kamu akhirnya merombak lukisan kesayanganmu ini.”
Rupanya Lila tidak sendiri di bangunan berlantai dua tersebut. Seseorang yang tadi siang ia temui masih berada ditempat yang sama.
“Ada apa malam-malam ke galeri?”
Siapa saja akan merasa heran melihat seseorang dengan penampilan formal mendatangi sebuah galeri yang sudah tutup dari tadi. Dan hanya berdiri mematung menyamai sebuah manekin yang ada di pusat perbelanjaan.
“Mbak sendiri?”
“Nunggu hujan. Kamu?” tanya mbak Ika menyelidik.
Ucapan mbak Ika tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Lebih pada sebuah pernyataan untuk memastikan sesuatu. Dan itu memang benar. Lila datang seorang diri.
“Ray mana?”
“Ray…” Ucapan Lila terjeda. “Dia disekitar sini lagi ketemu orang.” Lila membuat bibirnya tersenyum. Dia pernah menjadi sutradari teater. Tak sulit untuk menerapkan salah satu ilmu tersebut di dunia nyata.
“Dan ninggalin kamu disini? Sendiri?”
“Aku yang minta. Lagian aku pasti bosen kalau ikut Ray. Pembicaraan tentang TKI atau TKW Cuma bikin aku nguap berulang kali.”
“Bener?”
Lila mengangguk. Terlalu cepat sampai akhirnya Mbak Ika menyadari ada sesuatu yang sedang Lila coba untuk tutupi.
“Lila?” Mbak Ika merendahkan suaranya.
Lila menggigit bibir bawahnya. Mengalihkan pandangannya ketempat lain. kesamping keatas kemana saja asal tidak beradu pandang dengan orang dihadapannya. Sekali tatap saja mbak Ika akan tahu apa yang sedang Lila rasakan. Dan saat ini Lila sedang tidak ingin membaginya dengan siapa-siapa. Tapi bukan mbak Ika kalau mengabaikan hal sekecil itu. Lila pun pasrah sekalipun mbak Ika akan tahu segalanya.
Tak lagi ingin berkata panjang, Mbak Ika menarik Lila kedalam pelukannya. Bukan kalimat bijak yang menenangkan yang sedang Lila butuhkan. Tapi sebuah tempat bersandar. Sebuah shelter untuknya bisa beristirahat atau hanya sekedar menghela nafas saja.
“Terkadang menangis diperlukan saat mulut tak mampu berucap.”
Selama beberapa saat Mbak Ika mengokohkan dirinya untuk Lila. Memberi Lila tempatyang nyaman untuk sekedar menangis. Hanya sebuah tepukan lembut dipunggung Lila yang bisa Mbak Ika lakukan untuk membuatnya tenang.
Waktu pun berlalu. Tangis Lila sudah berhenti. Tersisa isakkan yang membuat dadanya berguncang.
“Kita pulang?”
“Mbak Ika aja.”
“Lila?”
“Sebentar saja, Mbak. Please
“Tapi…”
I’m Okey. Just a second.”
Promise?
Promise.” Lila menambahkan sebuah senyuman untuk menambah keyakinan Mbak Ika bahwa dia baik-baik saja.
Lila memang perlu sedikit tambahan waktu untuk benar-benar selesai dengan kecewa. Bagaimana pun juga ketidakhadiran Ray malam ini sangat menggucangnya. Memporak porandakan bahagia dalam hatinya.
“Yasudah. Tapi kamu pakai ini.”
Mbak Ika memakaikan jaket panjangnya agar menutupi lengan Lila yang terbuka. Sedih memberikan peran besar dalam menurunkan kekebalan tubuh seseorang. Belum lagi hawa dingin akibat hujan. Yang akan dengan mudah membuat Lila sakit.

***
Langit malam ini begitu cerah. Bintang bertaburan dimana-mana. Seperti tidak menyisakan sedikitpun hujan deras yang baru saja reda. Hanya jalanan basah yang memberikan peringatan pada pengemudi untuk lebih berhati-hati.
Sebuah taksi memasuki kawasan komplek perumahan yang disambut seorang satpam yang membuka portal. Hanya ada petugas keamanan saja yang masih beraktifitas  pada jam-jam seperti ini. meskipun beberapa saat setelah senja pun komplek ini sudah sepi. Penghuninya lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya didalam rumah.
Mobil sedan biru itu berhenti disalah satu rumah. Kebetulan sang pemiliknya sedang berjalan mondar mandir di teras rumah terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Dengan salah satu tangannya sibuk dengan gawai. Aktivitasnya itu berhenti manakala seorang perempuan keluar dari mobil.
Lila sudah bersiap untuk kemungkinan akan langsung berhadapan dengan Ray. Meski sebelumnya ia tidak yakin akan bertemu malam ini. Ia bahkan sudah bersiap dengan satu kebohongan.
Sanggul rambutnya sudah diurai. Rambut panjangnya digerai begitu saja. hanya menggunakan jari tangan untuk membuatnya terlihat lebih natural. Make up minimalis itu juga sudah dicuci saat masih di galeri. Dress sudah tertutup rapat dengan jaket pinjaman mbak Ika. Outer milik Lila? Entahlah. Mungkin tertinggal di restoran. Lila sudah tidak peduli lagi. Hanya heels saja yang harus tetap dikenakan Tapi cukup satu atau dua kalimat alasan saja untuk membuatnya tidak terlihat seperti orang pulang dari pesta.
“Dari mana saja kamu?”
Telinga Lila menangkap sedikit kemarahan. Meski orang normal akan mendengarnya seperti kekhawatiran. Tapi tidak, pertanyaan itu lebih seperti konfrontasi seorang suami yang yang mendapati istrinya meninggalkan rumah tanpa pamit. Padahal sudah sangat jelas kemana Lila sebenarnya pergi.
“Seperti biasa dari galeri. Kemana lagi aku menghabiskan banyak waktu selain disana” Lila menunjukkan tangan kirinya yang memegang sebuah kanvas.
“Selarut ini?” Ray memang sudah meneliti begitu Lila turun dari taksi.
“Biasanya mas tidak pernah bertanya berapa lama aku menghabiskan waktu seharian disana.”
Telak. Ray tidak bisa berkutik dengan pembelaan Lila. Karena semua itu benar adanya.
“Bagaimana dengan sepatu? Satahuku kamu tidak pernah menggunakannya untuk pergi ke galeri.”
“Sejak kapan mas peduli dengan penampilanku” Jawab Lila ketus.
Lila lelah harus berbasa-basi tidak penting. Ia hanya perlu segera masuk kedalam kamar. Dia harus segera kesana. Mengistirahatkan segalanya. Termasuk nyeri kepala yang kembali menyerangnya.
“Lila tunggu?” Ray menyusul.
“Ada apa lagi?” Lila berbalik. Kakinya sudah ingin mendaki tangga yang ada didepannya. Membuat tubuhnya semakin rindu hangatnya selimut tebal dikamarnya.
“Aku cuma ingin bertanya satu hal.” Ray tetap melanjutkan pembicaraan meski Lila sudah berbalik lebih dulu. “Did you got my messages?”
Pesan? Kotak berisi gaun dan ajakan makan malam yang terselit disana?
Yes, and You never come!!!
Andai bisa Lila sudah meneriakkan itu tepat ditelinga Ray. Agar dia bisa mendengar dengan sangat jelas kemana sebenarnya Ia pergi sampai larut malam.
“Aku dari galeri, Mas. Lihat!” Sekali lagi Lila menunjukkan sebuah kanvas yang dari tadi ia bawa. “Aku tidak mungkin membawa barang semacam ini ke restoran mewah bukan?”
Lila tidak akan merepotkan dirinya sendiri dengan menenteng kanvas sebesar itu kedalam restoran itu benar. Tapi heels? Lila bukan seniman yang memiliki penampilan ala kadarnya atau bergantung dengan suasana hati. Dan dia hanya menggunakan heels untuk mengahadiri acara formal. Selain itu sepatu kets dan flat shoes adalah sahabat hari-harinya.
“Aku tidak bisa menghubungimu dari tadi.”
“Oh ya? Hapeku mati sepertinya. Tadi nggak sempat ngisi pas digaleri.”
Lebih tepatnya mengabaikan. Ray sudah berkali-kali menghubungi Lila tapi tidak mendapat respon. Ada puluhan panggilan juga chat yang tidak terhitung. Dan semuanya terhubung hanya saja tidak mendapat tanggapan.
“Oh, lain kali jangan lupa bawa power bank.”
Kali ini Ray berbalik lebih dulu. dia harus menutup pintu rumah yang terbuka. juga untuk memikirkan beberapa hal selain kebohongan Lila yang dengan jelas terlihat juga Almira. Si pemilik hatinya. Benarkah pemilik itu masih bernama Almira?

 ***

Ray merasa baru saja memejamkan mata. tapi pendengaranannya sudah menangkap suara berisik. Seperti ada benda terjatuh disuatu tempat.
Saat bangun untuk memeriksa, Ray menemukan sisi ranjang tempat Lila tidur kosong. Dan saat melihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 3 pagi. Waktu yang sangat awal untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Maka Ray pun mencari keberadaan istrinya.
Keluar kamar mata Ray tidak menemukan satu pun lampu yang dinyalakan. Hanya cahaya langit yang masuk melalui pintu kaca belakang sehingga dia bisa mengetahui keberadaan seseorang didapur.
Ada pecahan beling dimana-mana juga cipratan air. Lila sedang berjongkok memunguti pecahan-pecahan tadi.
“Lil…?”
“Ohh Mas, kebangun ya?” Lila mendongak. “Aku nggak sengaja jatuhin gelas pas mau ambil air.”
“Kamu nggak pa-pa?” Ray ikut membantu membersihkan.
“Nggak pa-pa.”
Ray mengambil kain lap basah untuk membersikan serpihan-serpihan yang tersisa. Juga sisa pecahan yang dikumpulkan Lila untuk dibuang ketempat sampat.
Berdiri setelah jongkok sepertinya membuat keseimbangan Lila berkurang. Sehingga membuatnya mencari pegangan agar tetap berdiri tegak. Ray yang melihatnya merespon cepat. Memegang kedua lengan Lila.
“Sepertinya tekanan darahku turun.” Lila mencoba menjelaskan saat melihat tatapan tanya dari Ray.
“Badan kamu panas, Lil.”
“Hah? Ohhh Cuma dehidrasi aja kok.“
Ray mendorong Lila untuk duduk dikursi. Lalu mengambilkan segelas air yang tadi gagal dilakukan oleh Lila.
“Minum.”
Terkesan diperintah tapi Lila menurut dan mengikutinya. Hal kecil itu membuatnya merasa sentimentil. Kedua penglihatannya memanas dan diselimuti cairan. Hanya pengaruh keadaannya yang kurang sehat saja atau memang ada hal lain. Lila merasa terharu. Meski marah dan kecewanya masih meraja tapi melihat Ray duduk berjongkok dibawahnya. Memastikan bahwa gelas yang berisi air putih itu kembali kosong.
“Lil?”
“Ahhh sepertinya aku benar-benar dehidrasi.” Lila mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Mencoba menghalau agar airmatanya tidak keluar.
Melihat itu Ray bangkit. Berdiri disamping kursi Lila. Memegang kepalanya lalu mendekapnya.
Dalam keadaan seperti itu tak ada lagi yang bisa Lila lakukan untuk menghentikan rembesan yang keluar dari matanya. Semakin dalam pelukan Ray semakin deras air mata itu mengalir.
“Lil, May I ask you something?”
Lila menggelengkan kepala. Menolak menjawab apapun yang ingin Ray ketahui. Marahnya, kecewanya biarlah dia simpan sendiri. Inilah hal terbaik yang bisa Lila lakukan untuk menekan egonya. Cukuplah dengan menangis untuk membantunya sedikit bernafas. Satu kata saja Lila ucapkan maka tuntutan besar yang akan ia minta. Sebuah hati yang bukan menjadi miliknya. Meski Ray selalu berada didekatnya, senyum yang Ray berikan untuknya, mata yang selalu memandangnya tapi hati Ray milik orang lain.
Sudah saatnya Lila harus menyerah. Bukan seperti ini jalan hidupnya. Seharusnya ia tidak membiarkan hatinya menuntut lebih dari sikap baik yang Ray tujukan padanya. Ini terlalu berlebihan. Melampaui batas.
Dengan menggunakan telapak tangannya Lila membekap mulutnya. Menahan suara isakan lolos dari mulutnya.
Meski berusaha ditutupi Ray tahu tubuh Lila berguncang karena menangis.
“Katakan apa saja Lila. Biarkan aku tahu.”
Mendengar itu isakan yang sudah ditahannya pun lepas begitu saja. Dan Lila menekan kepalanya kedalam perut Ray. Bahkan tangan Lila menarik kain yang menempel di tubuh Ray.
“Lil, kamu nggak bisa nafas kalau kaya gini.”
Lila menguatkan tautan tangannya saat Ray mencoba memberi jarak antara tubuhnya dengan kepala Lila. Agar Lila memiliki sedikit ruang untuk bernafas. Tidak perlu usaha keras karena memang Ray memiliki tenaga jauh diatas Lila.
Ray merendahkan posisi tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Lila. Bertumpu pada lututnya, dia  melihat pipi Lila membengkak, bahkan matanya menebal karena sembab. Hidung Lila yang memerah terus mengeluarkan cairan karena menangis.
“Nggak pa-pa kalau sekarang kamu nggak mau cerita. Tapi Lila, sekarang aku adalah suami kamu. Apapun yang terjadi sama kamu, yang kamu rasakan harus kamu ceritakan semua nya padaku, Ya?”
Dengan sorot mata yang tajam Ray memaksa Lila memenuhi permintaannya. Meski tidak mendapat jawaban juga tanggapan tapi Ray tahu Lila menyanggupinya.

“Kita ke kamar. Kamu harus istirahat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates