Senin, 27 April 2020

# Alfameria # Fiksi

Alfameria chapter v part 3

Alfa memandang sebuah persegi panjang berwarna ungu dihadapannya. Kotak berisi brownis yang Aksa berikan padanya beberapa hari lalu.

Pemberian Tante Marisa. Dan sebuah permintaan khusus untuk memberikan komentar terhadap hasil percobaannya membuat kue.
Motret sendiri


Sejujurnya Alfa terkejut ketika Aksa yang memberikan kue brownis itu padanya. Mengapa bukan Ameria sendiri yang memberikan? Dan kenapa harus melalui Aksa? Mungkinkah Ameria marah padanya?

Atau kah ….

Alfa menggeleng-gelengkan kepala. Menolak untuk melanjutkan kemungkinan-kemungkinan atas penyebab keberadaan yang ada diatas meja kamarnya itu.

Kemungkinan yang tidak berani dia bayangkan tentu saja tidak terjadi. kalau pun benar tante Marisa akan mengkonfrontasinya beberapa hari lalu saat Alfa menelpon untuk mengucapkan terimakasih.
Ameria, Alfa merindukanya.

Sepekan lebih Alfa tidak bertemu dan berbincang dengan sahabatnya. Meski kelas mereka bersebelahan tapi selama istirahat tak sekalipun ada pemandangan ketika Ameria dan Alfa sedang bercakap-cakap.

Ahh …
Alfa melihat Ameria. Dihari yang sama Ia mendapatkan kotak berwarna ungu tersebut. dihari ketika Ia tiba-tiba merasakan kemarahan yang hampir diluar kendalinya.

Tiga hari berlalu setelah hari itu. Alfa ingin kembali berbincang dengan Ameria.

Bukankah hari ini pekan pertama diawal bulan? Jadwal rutinnya untuk pergi ke perpustakaan umum. Itu artinya hari ini akan bertemu dengan Ameria. Dan pertemuan itu hanya ada mereka berdua.

Tapi tunggu, mungkin sebaiknya pertemuan hari ini tidak di perpustakaan. Mungkin Alfa perlu mencari tempat lain untuk membaca. Sebuah tempat terbuka dengan pohon yang banyak. Kemudian Alfa hanya perlu membawa buku dan sedikit makanan dan minuman sebagai bekal karena disana pasti tidak ada penjual makanan.

Sempurna!

Ameria akan terkagum-kagum dengan idenya itu. Ia pasti akan sangat girang karena menemukan tempat dengan suasana baru untuk membaca buku. Atau mungkin akan menjadi waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini ditahannya.
Motret sendiri


Alfa merasa sangat bersemangat sehingga langsung menghubungi Ameria.

Pada dering pertama Ameria tidak menjawab. Alfa pun mengulangi lagi. hingga dering ketiga masih tidak ada yang menjawab. Lalu sebuah pesan masuk.

Ameria  : Aku lagi dirumah sakit.
Alfa  : kamu sakit? atau tante marisa?
Ameria  : bukan
Ameria : Aksa tadi pagi kecelakaan. Dia keserempet pas lagi pakai otoped. Sekarang lagi diperiksa di UGD. Badannya lecet-lecet, Al (emoticon nangis).
Alfa : Yaudah, aku kesana sekarang.

Detik berikutnya Mama masuk kedalam kamar. Membawa setumpuk pakaian yang sudah selesai di setrika.

“Tumben belum siap? Nanti Ameria marah lho nungguin kamu kelamaan.”

Mama memasukkan pakaian kedalam lemari. Saat hendak menutup pintu lemari, Mama memandang cukup lama pada dinding didalamnya. Ada cukup banyak foto Ameria yang sengaja ditempel disana. Semuanya diambil secara sembunyi-sembunyi.

“Mama jarang ketemu Ameria tapi rasanya kaya tiap hari ketemu.”

Setelah menutup lemari Mama duduk di tempat tidur. Melihat anaknya yang masih mengenakan kaos tidur.

“Mau disimpan sampai kapan? Kamu baik sama dia, perhatian, kamu jagain dia. Tapi Ameria nggak akan tahu kalau kamu nggak bilang. Udah tiga tahun, Alfa.”

Alfa hanya duduk diam sambil memutar-mutar kursi yang didudukinya.

Tiga tahun? Ia tidak pernah mengira bisa menyimpan perasaannya nyaris 1000 hari lamanya. Alfa benar-benar pandai menata rapi rasa sukanya pada Ameria hingga ia sendiri merasa cukup dengan hubungannya saat ini.

Hari-harinya selalu dihabiskan bersama Ameria. Disekolah hingga dirumah, semua waktunya selalu dengan Ameria.

Persahabatan atau kah pacaran, bagi Alfa tidak ada bedanya. Selama bisa bersama, saling berbagi banyak hal sudah lebih dari cukup. Apakah Ia perlu memberitahu bahwa Ameria adalah ratu dihatinya?

Alfa tidak merasa perlu melakukannya. Toh, selama ini Ameria selalu menerima dan membalas semua sikap baik dan perhatiannya. Bahkan bisa dikatakan bahwa Ameria adalah satu-satunya orang yang paling mengenalnya selain mama papa.

“Kami baik-baik.”

Mama tersenyum. “Tentu kalian baik-baik saja. Tapi kalau suatu saat ada yang datang mendekati Ameria, apa semuanya tetap baik-baik saja?”

Kursi yang sejak tadi berputar-putar langsung berhenti. Energi yang sejak tadi digunakan untuk membuat kursi beroda mengalir hingga keatas. Memutar-mutar isi kepala alfa untuk memasukkan sebuah kode unik yang baru saja disebutkan mama lalu memprosesnya untuk menghasilkan sebuah jawaban yang selama ini tidak disadarinya.

Aksa menyukai Ameria.

Mama hanya tersenyum melihatnya. Dia tahu anak lelakinya itu pandai. Kesukaannya membaca buku hanya stimulan kecil untuk membuat cabang-cabang baru diotaknya. Hanya saja kecepatan reaksi otaknya berbanding terbalik dengan tingkah polanya. Ditambah kepribadiannya yang tertutup membuat orang lain semakin susah membaca sikapnya.

“Ma, menurut mama sebaiknya aku kuliah dimana?”

Senyum mama seketika memudar. Bagaimana mungkin topik pembicaraan mengenai perasaan berganti dengan kuliah. Sungguh hal ini benar-benar membuat Mama semakin tidak paham dengan jalan pikiran anaknya.

“Kamu serius tanya Mama?”

Alfa mengangguk mantap.

Mama harus kecewa pembicaraan tentang Ameria harus berakhir seperti biasa tanpa pernah ada ujung yang jelas. Namun, pembicaraan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. karena menyangkut masa depan yang selama ini tidak begitu menarik perhatian Alfa.

“Kamu maunya apa?”

Alfa hanya mengendikkan bahu.

Mama harus menggosok lengannya karena dibuat gemas oleh anaknya sendiri. Kecerdasaan otak kirinya boleh diatas rata-rata tapi kemampuannya untuk mengenal diri sendiri nyaris tidak mendapatkan nilai.

“Kalau Alfa tahu, Alfa nggak akan bertanya.” Alfa kembali diam. “Gimana kalau Alfa masuk IKJ?”

Mama memicingkan mata. menatap penuh selidik pada Alfa yang sejak tadi bersikap sangat tenang. Terlalu tenang bahkan. Mama ingin mencari barangkali ada sesuatu yang terlewat dari perhatiannya.

“Kamu yakin? Mama tidak melihat kamu punya ketertarikan dengan seni.”

“Memang harus ya? Nggak bisa kalau aku cuma ingin kuliah disana?”

“Bukan begitu. ketertarikan , kesukaan adalah bagian dari sebuah passion. Dan passion itu penting agar kita tetap konsisten dengan tujuan.” Mama memperbaiki posisi duduknya. “Kamu boleh kuliah di IKJ. Pertanyaannya adalah apakah dengan masuk IKJ tujuan kamu akan tercapai?”

“Belajar memang harus punya alasan, ya? Apa salah kalau aku masuk IKJ karena ingin belajar seni.”

“Setiap hal didunia ini diciptakan dengan tujuan. Mama memilih menyekolahkan kamu di Sekolah formal untuk mempermudah ketika ingin mendaftar di perguruan tinggi. Kakak kamu memilih langsung melanjutkan S2 karena ingin memperdalam ilmunya sebelum benar-benar terjun ke dunia kerja. Kalau kamu cuma ingin belajar seni, kenapa harus nunggu masuk IKJ? Sekarang pun bisa.”
“Satu lagi,” lanjut Mama “buat keputusan itu karena diri kamu sendiri. Bukan karena mama bukan karena papa atau orang lain. Tapi karena kamu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates