Jumat, 24 April 2020

# Alfameria # Capucino

Alfameria : Chapter IV part 2

Secangkir cappuccino hangat dan segelas oreo milkshake datang mengisi meja. Disusul sebuah plater berisi chips dan kentang goreng.


Alfa menyeruput minuman berkafein miliknya. Hangatnya mengalir melewati kerongkongannya. Perlahan bereaksi didalam tubuh dan membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Nikmatnya minuman hangat itu membuatnya terlena hingga mengabaikan sahabatnya yang sedang bermuram durja. Memang Alfa sengaja menyeret Ameria keluar perpustakaann. Dia sadar perbuatannya itu sangat mengesalkan. Bahkan jika hal itu terjadi pada dirinya, murung saja tidak akan cukup untuk melampaiskan kekesalannya.

Tapi bukan Alfa kalau membiarkan wajah Ameria cemberut. Segelas minuman susu dengan taburan biskuit adalah salah satu titik lemah Ameria.

“Harus ada penjelasan yang lebih dari segelas milkshake.”

Alfa tersenyum melihat Ameria menyedot minuman susunya hingga separuh gelas. Kemudian mengambil satu persatu chips and fries tanpa berbicara. Lalu kembali dengan minuman yang tersisa hingga habis tak tersisa.

“Benar kalau buku tadi bikin mood membacaku berantakan. Tapi kalau aku tetap disana, mungkin kekesalanmu akan berubah karena aku tidak mau pulang.”

“Serius deh, Al.”

“Aku serius. Buku tadi bikin aku jadi tahu bahwa keserakahan manusia itu tidak akan pernah habis bahkan ketika alam sudah menunjukkan amarahnya.”

Ameria semakin tidak mengerti pembicaraan Alfa. Ia memilih mengambil tas Alfa dan mengeluarkan buku setebal 300-an halaman tersebut. Ameria hanya perlu membaca sekilas untuk memahami pembicaraan Alfa.

“Ini kan hanya prediksi dan pendapat seseorang aja, Al. Kenapa dibuat serius gitu.”

“Beda, Mer. Pendapat yang dijelaskan dibuku itu meringkas kejadian saat ini dan memproyeksikannya dimasa depan. Kamu ingat film The Day After Tomorrow yang pernah kita tonton?”

“Ingat. Film yang dibuat bahkan sebelum kita lahir, kan? Apa hubungannya?”

“Difilm itu kan menjelaskan keadaan bumi karena perubahan iklim. Kamu sadar nggak kalau itu benar-benar terjadi? Hujan es, peningkatan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, kebakaran yang baru saja terjadi di Sumatra dan Kalimantan.”

“Hubungannya dengan buku ini?”

“Mereka sama.”

Ameria menyisihkan semua gelas dan piring. Meletakkan sikunya diatas meja untuk menyangga kepalanya yang bersandar pada telapak tangannya. Dia sedang memposisikan diri senyaman mungkin. Bukan pada topik yang dibicarakan Alfa. Tetapi pada Alfa sendiri. America perlu posisi yang nyaman untuk menikmati daya tarik pada objek dihadapannya. Yang terus berbicara dengan penuh semangat. Bahkan setiap kalimat yang Alfa ucapkan tidak benar-benar didengarnya.


Ini pertama kalinya Alfa antusias terhadap sesuatu. Biasanya semangatnya tidak akan setinggi ini jika membicarakan buku yang telah dibacanya. Dan tentu saja menjadi sisi lain dari alfa yang belum pernah Ia temui. 
Selama ini America mengenal Alfa sebagai sosok yang tenang, yang tidak mudah terpengaruh dengan kejadian disekitarnya. Yang selalu mendengar semua ocehannya meski sebagian besar hanya deretan mimpi yang Ameria sendiri tidak tahu akan terwujud atau tidak. Alfa yang selama ini menyukai apa yang Ia sukai. Tidak pernah benar-benar menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu, selain bacaan-bacaan yang terlalu berat untuk usianya yang baru 18 tahun.

Alfa yang tidak memiliki popularitas tinggi seperti Axel, kapten basket sekolah. Tidak  juga atletis seperti Aksa. Wajahnya pun tidak setampan Aliando. Alfa hanya remaja biasa yang kebetulan memiliki kecerdasan cukup tinggi, yang tidak memiliki banyak aktivitas selain membaca dan sekolah. Tapi hari ini terlihat berbeda. Matanya berbinar-binar penuh semangat. Tidak banyak senyum yang tercipta dibibirnya tapi kebahagian itu tergambar dengan jelas.

“Kita harus melawan keserakahan kita sendiri.”

Alfa menyudahi orasi panjanganya tentang sifat manusia dan dunia. Yang membuat Ameria terkesima sendiri. Dengan sebelah tangan Alfa mengangkat cangkir lalu meminumnya dengan elegan. Ameria bahkan mengira bahwa sahabatnya itu sedang mempraktekkan cara minum kopi yang baik dan benar yang diperoleh dari buku.

“Jadi menurut kamu apa yang bisa kita lakukan saat ini?”

“Entahlah. Membiarkan hewan hidup bebas di alam.” Alfa mengangkat bahunya cuek.

“Jadi kamu mau jadi penyelamat binatang-binatang buas, gitu?”

“Aku nggak tahu, Mer.”

“Kamu udah ngoceh panjang lebar gitu masih nggak tahu mau ngapain?” Ameria menghempaskan punggungnya ke belakang. “Kamu juga masih nggak tahu mau kuliah apa dan dimana?”

Alfa menghela nafas. “Kan aku udah bilang akan kuliah di kampus yang kamu pilih.”

“Tapi IKJ, Al. Kamu nggak pernah bicara soal seni. Dan kamu mau kuliah disana?”

“Kuliah itu untuk belajar, Mer. Bukan berarti karena aku nggak pernah membicarakannya lalu aku nggak mau memperlajarinya. Justru aku harus belajar sesuatu yang aku sendiri nggak tahu. Kalau aku udah tahu ngapain juga repot-repot belajar.”

“Lalu apa kabar dengan passion?”

Alfa berpikir. “Passion … kayanya ada di kulkasnya Tante Marisa, deh.”

“Alfa!”

Suara tawa mereka menyatu dengan suara music yang dipasang sejak kafe ini buka. Menambah hangat atmosferpersahabatan yang Alfa dan Ameria bawa kedalam kafe ini.

“Jadi kamu habis dari mana sebelum datang ke perpus?” Alfa akhirnya mengucapkan pertanyaan yang sejak tadi ditahannya.

Ameria meringis. “Aku habis dari CFD.”

“Sama Tante Marisa?”

“Mana mungkin. Bunda lagi sibuk nyobain resep dari youtube.” Sepotong kentang masuk kedalam mulut Ameria. “Percaya nggak kalau aku tadi pergi sama Aksa?”

“Aksa? Jadi itu alasan kamu nggak perlu dijemput?”

“Iya. Sebenarnya kemarin dia ngajak kita berdua cuma kupikir kamu nggak bakal mau.”

“Kenapa kamu mikir gitu?”

“Ya ampun, Alfa. Kita kenal udah lama. Dan aku tahu banget, kamu nggak akan keluar kamar sebelum jam makan siang. Kamu lupa, aku pernah minta ditemenin ke museum untuk cari bahan buat tugas. Kamu malah ngasih aku buku dan balik tidur lagi.”

Alfa mengaduk-aduk ingatannya. Sepertinya itu kejadian hampir dua tahun lalu. Saat ia merasa pusing karena terlalu asik membaca buku hingga subuh.

“Oh iya, Aksa ngajak kita nonton. Besok sepulang sekolah.”

Alfa berhenti mengaduk-aduk isi kepalanya. Namun, hatinya belum. Tidak biasanya kafein membuat jantungnya berdetak sangat cepat seperti saat ini.

“Kayanya aku nggak bisa. Aku harus ngantar mama ke bengkel buat ambil mobil yang mogok waktu itu.”

“Yang waktu itu belum selesai? Yah … masa kamu nggak ikut lagi.”

“Mau gimana lagi, nggak enak kalau nolak mama.”

Sebenarnya Alfa sedang mencari-cari alasan saja. Mobil Mamanya sudah dirumah sejak kemarin. Dia hanya perlu mencari alasan untuk menghindar dari ajakan Ameria. Meski akhirnya harus mengecewakan Ameria.


Melarang Ameria pergi dengan Aksa sangat tidak mungkin. Karena Alfa tidak punya hak. Bahkan dia sendiri tidak tahu mengapa tidak suka ketika Ameria dekat dengan Aksa.

Hubungan Alfa dan Ameria tidak lebih dari seorang teman dekat. Yang didekatkan dengan kesukaan yang sama. Tidak pernah ada yang menerjemahkan kedekatan itu sebagai sesuatu yang spesial. Meski orang lain melihatnya berbeda.

Karena menghormati hubungan itulah, baik Alfa maupun Ameria mau mengharap lebih. Hanya saja mereka tidak bisa mengendalikan rasa yang Tuhan berikan. Yang pelan-pelan menyelinap. Mereaksikan perasaan yang ada sehingga membentuk rasa baru yang tidak pernah disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates