Senin, 07 Januari 2019

# Keluarga

SEPARUH JIWA?

Belahan jiwa, separuh hati, kekasih hati dan ada banyak ungkapan lain yang dipakai kebanyakan orang untuk menunjukkan arti seseorang dalam kehidupan kita. Tak jarang banyak yang menganggap frasa tersebut sangat cheesy, alay. Bahkan banyak juga yang menganggap tak hanya kata yang digunakan tapi pelakunya sendiri yang memiliki kepribadian kekanakan. Sehingga banyak yang memilih mengungkapkan maksud tersebut dengan bahasa lain hanya untuk menghindar label cheesy tadi.
Tapi saya akan menabrak semua anggapan itu tadi. Mengabaikan respon atau label yang akan orang sematkan. Sebagai orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah salah satu bentuk kecintaan pada tanah air.
Separuh jiwa

Bukan hanya mengekor dari sebuah lagu yang popular tapi pada beberapa orang memang benar seperti itu adanya.
Bagi saya suami adalah separuh jiwa. Kekuatan sekaligus kelemahan terbesar saya.
Kalau dianalogikan dengan hal lain itu seperti Elang dan sayapnya, yang akan terbang dengan gagah membelah cakrawala tapi hanya akan menjadi burung biasa yang tak berwibawa saat sayapnya tidak berfungsi normal atau tidak ada. Pohon dan akarnya, yang berdiri kokoh dan kuat saat badai mencoba menggoyahkan tapi saat akarnya keropos dan membusuk di dalam tanah dia hanya menjadi batang berdiri yang sekali tiup akan roboh. Pagi akan kehilangan semangatnya saat matahari lebih memilih bersembunyi di balik mendung. Membuat pagi sama dinginnya dengan malam.
Sepenting itu arti suami saya, Miftachu Firridjal.
Kemarin, 7 Januari 2019,  saya menjalani rutinitas seperti biasa. Tanpa di sertai firasat atau prasangka apapun. Siang sebelum berangkat untuk jemput si sulung saya mengirim sebuah pesan berisi aktivitas dan candaan sarkas yang biasa saya lontarkan untuk menanggapi salah satu kebiasaan buruk.
Selama perjalanan berangkat maupun pulang memang ada sedikit rasa tidak tenang di hati. Karena jarang sekali saya tidak mengetahui atau mengabaikan adanya panggilan masuk apalagi dari suami. saya anggap juga biasa aja karena saya selalu bersemangat saat menerima telpon darinya. Sampai kami bertiga bersiap makan siang pun belum ada panggilan masuk. Akhirnya saya menghubungi duluan. Hanya beberapa detik menunggu sebelum diangkat. Nah percakapan singkat itu yang menyebutkan kata sakit, rumah sakit itu masih belum bisa saya terima. Lalu saya pamit sama anak-anak agar mereka makan tanpa saya.
Saya pun masuk ke dalam kamar. Selain pembicaraan yang tidak boleh didengar anak-anak juga menyembunyikan keran air mata yang terbuka dan susah dikendalikan.
Akhirnya dalam percakapan jarak jauh dengan kesadaran penuh bahwa suami, separuh jiwa saya itu sedang terbaring lemah di sebuah kamar inap rumah sakit. luruh seketika. Rasanya tulang-tulang dalam tubuh ini lolos semua. Dalam perbincangan itu rasanya pengin bilang, “Candaannya lucu banget.” tapi nggak bisa.
Penampilannya memang tak menunjukkan bahwa dia sekarang sudah menjadi seorang pasien. Aliran darah masih Nampak jelas di wajahnya. Tapi saya menangkap raut sedih dan setitik air diujung matanya. Dan itu itu sudah cukup untuk segera berhenti menyangkal bahwa suami saya baik-baik saja.
Memang bukan yang pertama dia sakit saat sedang berjauhan. Tapi sakit sampai memaksa dirawat di rumah sakit adalah yang pertama kalinya sepanjang kami saling mengenal. Dan dititik ini pula saya hanya bisa memandang lemah tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk sekedar menghapus air matanya pun tak mampu.
Saat kabar itu sudah bisa diterima dengan baik setiap sel dalam tubuh, hanya ada satu hal yang bisa saya ucapkan, “Boleh ndis kesana?” meski jawaban itu lebih dulu saya ketahui tetap saja perlu disuarakan.

Tak banyak yang bisa saya perbuat selain mengucapkan sebanyak mungkin hal yang tidak bisa saya lakukan saat ini. Dan memastikan dengan kedua mata saya bahwa laki-laki yang terbaring itu tidak ada yang kurang. Dan sebagai penutup saya meminta di kirimkan video kondisi disana.
Hey suami,
Sejak terakhir istrimu mendengar kabar itu tak sedetik pun ia bisa membendung cairan yang menetes dari matanya. Bahkan dia tak lagi bisa menjadi aktris multi talenta yang berperan baik-baik saja di depan anak-anak.
Anak laki-lakimu itu semakin pandai tapi juga semakin manja. Makan siang kemarin dia tidak mengikuti permintaan istrimu untuk makan sendiri. Jadilah istrimu menyuapinya dengan mata sembab yang setiap menjawab pertanyaan cerdas dari anak gadismu akan dijawab dengan linangan air mata.
Hey suami,
Siang kemaren itu hanya ada dua suapan nasi yang berhasil istrimu makan. Bukan karena tak enak atau tak kebagian karena dihabiskan anak-anakmu atau kehilangan selera. Dimatanya makanan-makanan itu terlihat sangat lezat tapi berita keadaanmu itu masih membuat tenggorokannya tercekat sehingga membuatnya kesulitan untuk menelan.
Sepanjang siang itu pula dia tak bisa berhenti menangis. Bahkan saat anak-anakmu belum tertidur untuk istirahat siang, wanitamu itu masih menangis meski tanpa isak. Hanya nada suaranya lebih cepat naik bahkan sebelum detik berganti atau turun sangat rendah bahkan terlampau rendah.
Tak banyak yang bisa dia lakukan selain menemani anak-anakmu agar segera terlelap dengan sebuah kitab terbuka di tangannya. Sekali lagi wanitamu dalam keadaan tak berdaya, tak bisa berbuat banyak selain berdoa untuk kesembuhanmu juga ketenangan dirinya sendiri. Dan itu berat sangat berat.
Pada akhirnya anak lelakimu yang terakhir tidur, mungkin menjelang lelapnya ia menyadari perbedaan suara bundanya. Mimpi pun menarik replikamu semakin jauh dari alam fana, membuatnya tak lagi bisa mendengar isakan dari bundanya yang mengeras.
Dari puluhan ayat yang berhasil ia baca beberapa ayat pertama sangat susah sekali ia baca. Perlu beberapa kali pengulangan agar bacaan itu  lebih baik.
Lembaran kitab-kitab itu menyaksikan betapa dia berusaha sangat keras untuk ikhlas dan sabar. Dia tak ingin mengecewakanmu karena gagal untuk kedua kalinya pada ujian kesabaran ini. dengan bibir yang bergetar dia terus membaca rangkaian kalam ilahi tersebut. dalam hatinya selalu merapalkan doa tak hanya untukmu agar tak jauh dariNya juga untuknya agar dijauhkan dari prasangkas-prasangka buruk.
Hey suami,
Hujan turun saat pemeran utama sedang bersedih rupanya tak hanya terjadi dalam drama tapi di dunia yang fana ini benar-benar terjadi. Mendung gelap itu melepaskan air sangat deras. Menyembunyikan isakan keras dari istrimu agar anak-anakmu tak terbangun.
Sepanjang siang hingga sore menjelang hujan deras turun. Dan waktu terbaik itu pun tak dilewatkan dengan sia-sia oleh istrimu. Disepanjang waktu itu pula akhirnya ia mendapatkan sebuah ketenangan sehingga bacaan yang keluar dari mulutnya jauh lebih baik dari beberapa waktu sebelumnya. Meski tetesan air mata itu belum berhenti tapi dia sudah lebih tenang.
Hingga akhirnya kau pun bisa mendengarnya melalui sebuah panggilan telpon yang dilakukannya beberapa kali. Suaramu yang benar-benar terdengar lemah itu sangat membuatnya senang. Keadaannmu yang mulai membaik itu membuat hormon lapar istrimu aktif seketika. Dan memerintahkan perutnya berbunyi. Dan menjelang petang itu sejumlah makanan berhasil melalui organ pencernaannya dengan baik.
Tapi tahukah kamu, hey suami? sepanjang siang menangis membuat kondisi istrimu menurun. Dia memang tak terbaring lemah seperti dirimu, dia hanya terbaring kelelahan. Dia pun melewatkan aktifitas rutinnya setiap senin untuk beristirahat.
Dan semua itu terbayar dengan kondisimu pagi ini.
Dia mulai membuka laptop dan menulis lagi. bisa tersenyum dihadapan anak-anakmu. Sudah bisa bercerita dan bercanda dengan anak lelakimu yang manja. Dan sudah berdebat dengan anak sulungmu yang pandai. Pagi ini suasana rumah berangsur-angsur normal.

Semoga engkau pun semakin membaik dan segera keluar dari rumah sakit dalam keadaan sehat.

Esok, saat kau pulang. Peluklah dia dengan erat dan bisikan sebuah kesanggupan bahwa kau akan merubah gaya hidupmu menjadi lebih baik lagi. untuk dirimu sendiri, untuk anakmu dan untuk istrimu, Yenny Astriana Fitriatul Fajriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates