Rabu, 23 Januari 2019

# cinta # Fiksi

Remind Me_Lima



Malam sudah bertukar tempat dengan pagi. Burung-burung pun mulai berkicau untuk mencari pakan. Meski mentari belum menampakkan diri tapi kehidupan sudah dimulai. Pun dengan Lila, meski bangun lebih awal dan masih berbaring diatas tempat tidur, kesadaran sudah menguasainya.
Disuguhkan seorang laki-laki yang terlelap diatas sofa, masih mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, Lila membuka mata setelah tidur semalamam. Seolah tidak terusik dengan kehadiran orang lain, Lila berjalan melewatinya begitu saja.
Orang lain? Sama sekali bukan. Dia adalah suami Lila. Seseorang yang sudah dikenalnya hampir seumur hidupnya. Bahkan Ray satu-satunya orang yang paling lama dikenalnya saat ini. Namun sikap keduanya tak menunjukkan adanya sebuah kedekatan khusus.
Semalam Lila tidur sangat nyenyak. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang lebih sering terjaga saat malam karena memikirkan pernikahannya. Meski masih menyisakan pening dikepalanya. Badannya juga masih menggigil saat terkena udara pagi yang terasa lebih sejuk dari biasanya. Mungkin karena hujan tadi malam. Meski demikian tidak membuatnya untuk kembali ke dalam rumah yang terasa lebih hangat.
Sudah lama Lila tidak duduk di ayunan yang berada di halaman belakang rumahnya. Terakhir kali dia menikmati waktu disana saat dibangku sekolah menengah. Tepat ulang tahunnya yang ke 15.
Waktu itu orang tuanya memberikan kejutan kecil karena Lila berhasil diterima di sekolah favorit. Sebuah tiket liburan bertiga, Lila dan kedua orangtua, yang sudah lama tidak dilakukan.
Ayah mengayunnya pelan usia acara makan bersama. Membuatnya benar-benar tiupan anginyang menyentuh pipinya. Lalu berubah menjadi lebih kuat sehingga Lila mulai protes. Dan semakin kuat hingga Lila berteriak histeris. Meski merasa takut tapi teriakan itu ungkapan bahagia. Bunda yang melihat dari jauh turut merasakan chemistry antara anak dan ayah.
Mungkin saat itu adalah kali terakhir Lila bisa tertawa lepas. Kenangan yang tak lagi bisa ia rasakan. Bahkan Lila dengan sengaja membiarkan rasa-rasa dalam kejadian itu tertiup kembali bersama angin yang menerpa wajahnya. Biar menjadi sebuah penghiburan tersendiri ditengah peristiwa pedih yang dialaminya.  
Meski demikian ada satu lagi kenangan indah yang ingin sekali kembali ia rasakan. Namun kemungkinan itu semakin hari semakin memudar bahkan sekeras apapun usahanya penolakan-penolakan itu semakin kuat.
Seperti sekarang kejadian itu selalu mengekor kenangan lain yang ingin Lila ingat.
Saat ayah mendorong ayunannya dan dikuti dengan tawanya muncul kejadian lain. Seorang bocah laki-laki berlutut dihadapannya. Memberikan sesuatu sambil mengajaknya berjanji satu hal untuk bersama dikemudian hari. Biasanya Lila akan menutup kilasan peristiwa itu dengan tangisan.
Tiap kali teringat Lila akan menggenggam sebuah kotak yang ia miliki. Sebuah benda persegi yang tak pernah ia buka. Tiap kali itu pula dorongan kuat untuk menagih janji selalu merongrongnya. Menuntut sebuah kebersamaan yang pernah dijanjikan seseorang  yang paling ia butuhkan saat ini.
Kehadiran Si bocah laki-laki itu. yang akan menghapus air mata, belaian tangan menenangkan juga sebuah pelukan yang nyaman. Serta sebuah bisikan penyemangat, “Aku akan selalu berada disampingmu.”
Lila membutuhkan semua itu saat ini.
Terlalu berlebihankah? Atau seseorang yang duduk disampingnya. Cukup diam disampingnya. Agar Lila tahu dia tidak sendiri. Manusiawi bukan jika seseorang membutuhkan orang lain hanya untuk membuat dirinya tidak merasa sendiri?
Sayangnya harapan Lila tidak terkabul. Kenyataannya Lila memang tidak sendiri. Ada seseorang saat ini menemaninya. Tetapi Tak bisa di raih. Jarak yang memisahkan terlalu jauh dan tidak bisa Lila jangkau.
Seperti sekarang.
Lila melihat si bocah laki-laki yang sudah tumbuh dewasa ada di rumahnya. Bahkan kini sudah berubah status menjadi suaminya. Ray tidak pernah duduk disampingnya. Dia hanya berdiri dikejauhan. Tidak ingin mendekat meski Lila memintanya mendekat.

***

Ray dan Lila sudah berada didalam perjalanan menuju rumah orangtua Ray. Sesaat sebelumnya mereka mampir ke hotel tempat berlangsungnya pernikahan untuk mengemasi barang-barang yang tertinggal. Mobil yang dikemudikan Ray melaju dengan lancar. Jalanan sedang tidak berada di fase sibuk sehingga cukup lengang.
Pagi tadi saat bangun tidur Ray tidak mendapati Lila ditempat tidur. Sementara hari masih terlalu pagi untuk beraktifitas. Ray mencari di beberapa ruangan seperti kamar mandi, juga di dapur. Pencarian itu pun berhenti saat Ray melewati ruang keluarga yang terhubung dengan halaman belakang.
Lila ada disana.
Masih terlalu awal untuk bermain diluar ruangan. Tapi Ray mengurungkan niat untuk menegur Lila. Sepertinya duduk di ayunan bukan aktivitas bermain yang dicari Lila. Karena Ray bisa melihat tetesan air mengalir di pipi Lila. Rupanya Lila membutuhkan waktu panjang untuk berduka. Maka Ray memilih untuk membiarkan Lila. Mungkin dengan begitu Lila merasa lebih baik. Ray pun berbalik tanpa melakukan sesuatu.
 “Kalian baik-baik saja?” Oma Rita menyambut dengan pelukan begitu mereka sampai. “Ditelpon nggak ada yang angkat.”
“Nggak apa-apa Oma. Kemarin Lila pulang dan langsung istirahat jadi nggak sempat kasih kabar.” Jelas Lila.
“Ahh nggak apa-apa. Oma cuma khawatir. Kalian nggak ada yang bisa dihubungi”
Oma dan Lila menghentikan percakapan saat mendengar sebuah suara.
 “Ray masuk dulu, mau taruh barang-barang” Ucap Ray sambil berjalan membawa koper.
Lila hanya melihat saat koper miliknya dibawa masuk Ray. Bahkan saat tubuh Ray menghilang di balik tembok pun mata Lila belum berkedip.
“Ya sudah. Kamu susul Ray sana!” perintah Oma. “Istirahat.”
Lila baru saja masuk kedalam kamar dan mendapati koper miliknya berada di samping tempat tidur. Sementara pintu kamar mandi tertutup rapat dengan gemericik air terdengar dari sana.
Sebuah lemari besar mengisi salah satu sisi kamar. Disisi lain sebuah meja kerja dengan lampu belajar juga tumpukan beberapa buku diatasnya. Disampingnya berdiri sebuah rak yang berisi lebih banyak lagi buku-buku. Lila juga mengoleksi buku tapi tidak sebanyak milik Ray. Ditengah-tengah barisan buku itu ada satu ruang kecil berisi beberapa pajangan. Miniature kendaraan bercerobong asap yang menjadi salah satu tokoh animasi anak-anak menjadi pengisinya. Dan sebuah pigora kecil membingkai foto.
Foto Ray sedang dengan seorang perempuan berambut panjang terurai. Mereka sedang duduk dibangku taman dengan daun-daun berwarna kecoklatan yang berserakan dilantainya.
Lila langsung memalingkan wajah saat mendengar suara pintu dibuka. Ray keluar dari sana dengan handuk yang masih dipakainya mengeringkan rambut.
“Aku sudah menyiapkan sebagian tempat dilemari untuk barang-barang kamu. Untuk sementara kita tinggal disini dulu sampai rumah yang akan kita tempati nanti selesai dikerjakan.”
Setelah memberikan sedikit penjelasan Ray langsung berkutat dengan meja kerjanya yang dipenuhi buku-buku. Hampir saja Lila lupa kalau suaminya itu seorang abdi negara. Sehingga memiliki batas waktu libur. Berbeda dengan dirinya yang seorang seniman dengan jam kerja yang bisa ia atur sendiri.

***

Oma Rita sedang duduk di ruang keluarga saat Lila merasa bosan berdiam diri di kamar. Ray sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan yang bisa membuatnya terlambat. Lila pun berjalan mendekat.
“Oma lagi lihat apa?” Lila duduk di kursi disebelah Oma Rita.
Lila sudah tidak canggung lagi saat berhadapan dengan Oma. Mungkin karena dulunya mereka sudah menjalin kedekatan sehingga untuk memulai setelah berpisah cukup lama tidak terlalu sulit.
“Ini lihat foto-foto kalian waktu masih kecil.” Oma Rita menepuk kursi sebelahnya yang kosong.
Di dalam album foto berwarna coklat itu sebagian besar berisi foto Ray kecil. Ada juga beberapa foto dirinya sedang bersama Ray. Dan semuanya tidak jauh berbeda dengan album foto yang ada dirumahnya. Bedanya ada tambahan foto saat Ray sudah pindah. Meski tidak terlalu banyak.
“Dia siapa Oma?” tanya Lila sambil menunjuk sebuah foto Ray remaja bersama seorang gadis. Mengingatkan Lila pada wajah seseorang tapi dia lupa siapa.
“Ooohh… Namanya Almira. Dia teman sekelas Ray saat masih SMA di Amerika dulu,” jawab Oma Rita.
“Dimana dia sekarang Oma?”
“Katanya sih sekolah desain di Perancis setelah itu Oma belum pernah dengar lagi. Kenapa Lila?” tanya Oma Rita sambil memperhatikan ekspresi Lila.
“Cantik. Pacarnya Mas Ray, ya?” Lila menyeringai.
“Kamu ini. Ray sama kamu itu sama. Sama-sama mikirin satu sama lain. Jadi mana pernah Ray pacaran.” Oma menepuk tangan Lila.
“Ohhh…kelihatannya deket banget.”
“Kamu cemburu?” Oma tersenyum menggoda Lila. “Mereka memang dekat tapi hanya sebatas sahabat. Kalau nggak salah sampe Ray pindah ke Indonesia mereka masih berhubungan.”

Lila tidak pernah tahu ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Begitu yang sering dia baca di novel-novel picisan koleksinya. Kalau tidak ada campur tangan perasaan kedekatan itu tidak pernah terjadi. Kurang lebih itu juga yang Lila rasakan selama ini. Tidak pernah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis selain kepentingan kuliahnya dulu dan pekerjaannya saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates