Rabu, 02 Januari 2019

# cerpen # cinta

MANDA

Matahari masih mengintip di ufuk timur tetapi Cucak Kutilang sudah bersiul nyaring. Pejantan itu sudah aktif mengeluarkan kicauan terbaiknya untuk mengundang betina yang masih bersembunyi di dalam sangkar.
Energy postif itu pun menjalar pada diri Alex. Dengan tas yang sudah di sandang di punggungnya pun rambut basah hasil dari produk perawatan rambut yang beberapa bulan terakhir rajin digunakannya. Tak hanya seperti burung pejantan yang harus aktif dipagi hari untuk menarik betina lainnya, Alex pun sedang bergerilya menebarkan pesonanya untuk menarik lawan jenisnya.
Sebut saja Manda. Seorang perempuan yang dengan daya tariknya mampu memikat Alex semenjak hari pertama kuliah di mulai. Tak hanya kecantikan tetapi juga intelektualnya membuat Alex tak bisa berpaling barang sedetik.

“Bu Manda, saya perlu bicara.” Alex mencegat langkah Manda yang akan keluar kelas.
Seoalah batu kerikil Manda menghindar dan melanjutkan langkahnya. Banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di sekitar kelas membuanya merasa cukup aman untuk segera pergi dari Alex yang beberapa hari ini terus mengejarnya.
Bukan tanpa alasan Manda memilih menghindar bahkan menjauh dari Alex. Debaran jantung yang Alex rasakan juga terjadi padanya. Tapi semua itu bukanlah hal wajar. Semua itu kesalahan. Jantung yang berdegup kencang itu harus segera dir edam sebelum semuanya memburuk.
Memilih jalan yang banyak dilalui orang ternyata cukup menghalau Alex untuk mendekatinya. Sehingga, seperti sebelum-sebelumnya, Manda bisa masuk kedalam ruanganya dengan aman.
“Manda,” Alex menahan daun pintu saat Manda akan menutupnya. “Kita harus bicara.”
“Nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Manda mencoba mendorong tapi pintu itu tak juga tertutup. “Mahasiswa tidak ada yang bersikap lancang seperti ini.”
“Sebentar lagi dosen lain akan melewati ruangan ini. kalau kamu merasa tidak akan ada masalah dengan itu, aku akan bicara sekarang.”
Tentu semua itu akan bermasalah. Menjadi bahan gunjingan tidak menjadi impian Manda. Maka jalan satu-satunya adalah menuruti permintaan mahasiswanya.

Manda memunggungi Alex sambil bersedekap.  “Saya beri kamu waktu lima menit untuk bicara.”
“Aku merindukanmu, Man.”
Aku juga. Tapi Manda tak menyuarakannya. Ia biarkan berdengung di dalam kepalanya. Karena bukan cinta seperti ini yang harus Alex terima darinya.
“Aku sebenarnya tidak mengerti alasan kamu berubah secara tiba-tiba. Katakan apa salahku?”
Manda menggelengkan kepalanya, “Kamu tidak salah, Alex.”
“Lalu?”
“Keadaan yang salah. Aku yang salah.”
“Man?”
“Tolong, hentikan semua ini. kita kembali ke posisi awal. Kamu mahasiswa yang harus belajar dan aku dosen yang harus mengajar.”
“Jadi karena itu kamu menghindar dariku?” Alex melangkah mendekat. “Man…”
Belum sampai tangan Alex mencapai bahu Manda, perempuan berkacamata itu menyingkir. Mengeluarkan sesuatu dari dalam laci mejanya. Dan memberikannya pada Alex.
“Aku tidak sengaja membaca identitasmu dari arsip yang ada di gedung administrasi.”
Alex tersenyum, “Kamu tidak perlu menyelidiku sejauh itu. aku akan menjawab bahkan memberikan apapun yang perlu kamu ketahui tentang diriku.”
“Kamu tidak mengerti, Alex.” Manda tertunduk sendu. “Kamu anakku.”
“Candaan kamu sama sekali tidak lucu, Man.”
“Aku tidak bercanda, Alex. Aku dan papamu pernah menikah saat kami belum lulus sekolah menangah. Pernikahan kami hanya bertahan sampai kamu di lahirkan.” Manda mengangkat wajahnya, memandang wajah anaknya yang sarat ketidakpercayaan. “Karena aku berasal dari keluarga miskin, mama, Oma kamu memaksaku menyerahkan kamu. Sebenarnya…”
Tanpa menunggu lebih lama lagi Alex meninggalkan Manda dengan dentuman keras dari pintu yang tertutup. Manda terduduk lemah. air mata yang ditahannya itu mengalir melewati bingkai kacamata hitamnya. Duka dan penyesalan kembali menyelimutinya seperti Sembilan belas tahun yang lalu.
Map berwarna biru yang alex tinggalkan itu menunjukkan sebuah kopian akta kelahiran. Bertuliskan sebuah nama yang menjadi alasan terbesar Manda bisa hidup sampai detik ini. Alexander putra Wijaya, anak lelakinya yang tak sekalipun bisa ia temuin selama hampir dua puluh tahun.
Takdir sungguh pandai memporak porandakan hatinya. Ratusan hari ia menahan rindu, menanti dalam pencarian. Kini pertemuan yang sangat di damba itu berbuah petaka. Laki-laki yang membuat jantungnya berdebar adalah laki-laki yang selama ini ia cari, anak kandungnya sendiri.

Tak ada jalan lain selain mematahkan hati putranya sendiri sebelum kemalangan menimpanya juga permata hatinya. Biarlah sakit itu menjadi pelajaran berharga untuk anaknya bahkan mungkin akan menjadi hukuman untuk dirinya sendiri.

PS. cerita ini terinspirasi dari dongeng tangkuban perahu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Us @soratemplates