Sabtu, 26 Oktober 2019

# depression # Habit

LIFE SUCKS

Disclaimer
Tidak memasukkan unsur agama juga kadar keimanan seseorang. Semua tulisan hanya dilihat dari sisi kemanusian dan psikologi kejiwaan
First Suck
“Halo.”
“Hai, sorry aku lagi rapat sekarang. Nanti kutelpon, ya.”
Percakapan yang umum sekali tapi tidak pernah ada yang menyadari bahwa hal itu memberikan dampak yang sangat besar.
Untuk beberapa orang, dialog itu dapat diterjemahkan sebagai sebuah penolakan.
Satu kata yang memiliki magnet besar untuk menarik hal-hal buruk. Merasa tidak dibutuhkan, merasa bukan sesuatu yang penting, tidak menjadi prioritas bahkan tidak memiliki arti apa-apa.
Dan itu tidak disadari terjadi setiap saat oleh orang-orang terdekat.
Sakit kepala, pusing, lelah, meriang bisa jadi adalah gejala flu. Istirahat yang cukup dan makan yang bergizi bisa menjadi obat. Itu adalah fisik yang sakit.
Bagaimana jika mental yang sakit?
Mereka yang setiap hari tersenyum, yang setiap hari bercanda, melontarkan kalimat lucu bisa jadi tengah menyimpan kesedihan yang dalam akibat dari sepenggal percakapan tadi.
Seorang ibu yang setiap hari marah dan berteriak pada anaknya bisa jadi disebabkan bukan karena kesalahan si anak.
Orang lain mungkin akan menilai bahwa dia adalah seorang ibu yang galak. Ibu yang jahat, terlalu keras pada anak-anak. Sehingga cemoohan, caci maki pun dilontarkan semudah membalik telapak tangan.
Satu lagi luka digoreskan.
Belum lagi kehadiran seorang suami seperti ada dan tiada. Dengan kesibukan pekerjaan yang tiada batas, merasa kewajiban sudah terwakili dengan pemenuhan materi.
Jika sumber masalah terletak pada pelampiasan emosi maka kehadiran pendengar yang baik itu cukup. Dan jutaan keluh kesah akan tersalurkan dengan baik.
Namun, jika penolakan yang dirasa, kehadiran pendengar saja tidak cukup.
Apa yang mau didengar jika mereka tidak berbicara?


Second Suck
“Tuuuttt”
Dering pertama
“Tuuuttt”
Dering kedua
“Tuuttt”
Dering ketiga.
Kemudian sebuah pesan masuk.
“Maaf, lagi ketemu klien. Nanti kutelepon. Ada apa?”
Tambahan pertanyaan diakhir itu tidak memberikan pengaruh apa-apa. Bahkan jika diletakkan diawal kalimat.
Bahkan kehadiran pesan itu saja tidak akan memperbaiki keadaan.
Gelas yang pecah tidak bisa disatukan kembali. Begitulah wanita. Sekali hatinya terluka, selamanya luka itu akan menganga.
Kondisi ini tak lebih baik dari penolakan. Karena rasa-rasa yang dulu hanya melayang di awan tiba-tiba datang menyergap.

IG : anxiety_depression___

Finally
Ini adalah titik paling berbahaya.
Ketika seseorang merasa dirinya hanya seorang diri di dunia ini. ketika dia merasa bahwa hanya ada dirinya sendiri. Ketika dalam gegap gempita tapi kekosongan menyelimuti diri.
Hal ini berbeda dengan kesepian.
IG : selfcareispriority
Kesepian hanya merindukan kehadiran orang lain disampingnya. Ketika seseorang datang maka segalanya akan berubah menjadi lebih baik.
Namun keadaan ini tidak lah demikian. Ada atau tidakadaan orang lain tidak memberi perbedaan.
Dia tetap merasa sendiri. Dalam dunianya yang gelap dan pekat. Setitik cahaya tak mampu memberikan penerangan.
Sehingga keputusasaan akan lebih mudah menghampiri hingga kalimat terakhir pun terucap.
“Aku berhenti.”


Bukan mata, bukan pula telinga. Tapi rengkuhan hangat yang menunjukkan bahwa aku ada untuk kamu.

15 komentar:

  1. Wah suamiku banget itu huhuhu
    Tipsnya ya kita mesti cari kesibukan biar enggak punya pikiran yang aneh-aneh. Dan afirmasi positif jika memang berbicara secara tidak langsung itu mengakibatkan diri menebak-nebak ekspresi,situasi dan kondisi. Beda dengan jika langsung face to face berbicara.
    Pokonya positive thinking lah yang jadi bentengnya.

    BalasHapus
  2. sepertinya yang mbak tulis ini jadi tren rumah tangga modern. Tahun-tahun ini, saya dan teman-teman cukup banyak mendampingi ibu2 depresi. suaminya? entahlah.

    BalasHapus
  3. Jadi teringat salah satu tetanggaku, setiap hari srlalu memarahi anaknya. Aku nggak yakin anaknya nakal, melainkan ia hanya butuh kebebasan untuk lampiaskan kreatifitasnya. Semoga ia dan ibu2 yang lain segera bisa menemukan solusi ini. Berpelukaaaan dan saling merasakan kehangatan kasih sayang anggota keluarga.

    BalasHapus
  4. Bener banget, dicuekin itu rasanya ngga enak. Berasa sendiri, ngga ada yang peduli, kalah sama gadget. Kalo aku sih harus berusaha untuk selalu positive thinking, cari kesibukan & cerewet biar dapat perhatian & sejenak melupakan gadgetnya.

    BalasHapus
  5. Sedih baca artikel ini. Mudah²an engga ada lagi orang terutama Ibu yang merasa sendirian dan diabaikan, karena suaminya cuek.
    Huhu...sedih...

    BalasHapus
  6. Apalagi yuni yang baperan. Duh, kalau telpon temen dan dia nggak ngerespon juga tu rasanya terabaikan. Mesti berusaha keras memikirkan kemungkinan yang baik, misal dianya sedang sibuk dan lain sebagainya.

    BalasHapus
  7. Suamiku juga gitu. Kalau ditelepon dia balas WA, "Sik, ayah sik ketemu klien. Nanti ditelepon ya." Emang sih, langsung ditelepon begitu udahan ketemu kliennya. Ya, mau bagaimana lagi, gak bisa protes. Makanya aku usahain kalau ketemu ngomong sebanyak-banyaknya. Karena pada dasarnya aku ini nggak bisa sendiri. Extrovert yang baru mulai belajar jadi ambivert. Selain itu selalu berusaha positive thinking. Kalau udah beneran capeknya, biasanya tidur atau enggak jajan micin, hahaha.

    BalasHapus
  8. Hmm..bapak bapak kadang gitu ya, apa tidak sadar ya kalo istrinya ini butuh segera dibalas perhatian nya. Dengan segera dijawab telponnya, dng segera dibalas chatting an wa nya, bukannya nanti nanti trus terlupa.
    Dia bilang sih yg seperti itu tidak penting bgt, toh yg penting dia tanggung jawab, dia setia. Sudah cukup. Ehehe..itu kalo pikiran suamiku mbak. Maunya sih cuek, tapi kok rasanya tetep ada yg kurang gitu ya. Jangan jangan saya mulai ada gejala depresi nih, saya orangnya introvert sih. Mungkin suami saya begitu karena saya nya yg introvert yak wkwk..kok malah jadi kayak sesi curcol ke psikiater inih

    BalasHapus
  9. Kalo kebanyakan baper mah rugi sendiri ya mba. Makanya penting banget sebisa mgk kita possitif thinking heheh... #selfreminder sih kalo ini

    BalasHapus
  10. Rasa diperlulan, rasa diijnginkan, rasa dibutuhkan, serta rasa disayang, sesuatu yang tak terlihat, tspi nyata

    BalasHapus
  11. Oh... betapa kesehatan jiwa lebih penting ya mbak? Karena nantinya jiwa yang akan menggiring fisik melakukan hal-hal sesuai pilihan "jiwa".semoga kita selalu diberi kesehatan jiwa dan raga, ya mbak? Aamiin

    BalasHapus
  12. Hiks... sedih bacanya. Bersyukur, suami saya tidak seperti itu.

    BalasHapus
  13. Baca kisahnya kok jadi ikutan baper ya, meski alhamdulillah tidak pernah merasakan seperti itu. Kalau kondisi seperti itu dalam sebuah rumah tangga memang sebaiknya dibicarakan baik-baik ya...harus ada komunikasi sih, intinya.

    BalasHapus
  14. Kebetulan saya sedang tertarik dg hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental perempuan. Betul, Mbak. Mental yg sehat akan membuat perempuan dan kaum ibu lebih tegar menghadapi hidup. Kadang kita memang hanya perlu didengarkan kok. Juga terbebas dari stigma negatif khalayak ramai yg tidak paham bahwa sehat mental itu sama pentingnya dengan sehat fisik

    BalasHapus
  15. Sentuhan ... pelukan dari pasangan halal memamg memberi arti lebih dari berpuluh2 ribu kata.

    Tapi masalahnya ada beberapa pria dengan kriteria intrivert yang juga mudah stres, hehe.

    Saling memahami dan mencoba terus berkomunikasi menurut saya adalah cara yang tepat daripada merasa diri ini sendiri.

    BalasHapus

Follow Us @soratemplates